BAB II
PEMBAHASAN
2.1 LAHIRNYA ILMU KALAM
Untuk mengetahui timbulnya persoalan ilmu kalam dalam islam termasuk
perkembangan pemikiran umat islam pada masa Rasulullah saw.
Bahwasannya, ilmu kalam baru dikenal setelah orang-orang membicarakan
kepercayaan alam ghoib dan berhubungan dengan dunia luar atau dunia filsafat.
Pada abad ke 2 H (8 M) munculah ilmu kalam dan sufisme di kalnagan umat
islam, salah satunya pemikiran Al Kindi yang dikenal filsafat pertama kali.
Begitu pula pada masa Khulafaur Rosyidin. Pada masa itulah suasana pemikiran
islam dikembangkan oleh beberapa orang yang bisa disebut pemikir perintis.
Ada 2 pengaruh yang dapat ditelusuri dan juga sebagai sumber-sumber
kemunculan ilmu kalam, yaitu :
1)
Sumber langsung, ya’ni Qur’an
dan Hadist. Keduanya memberikan motivasi sehingga memunculkan pemikiran dalam
islam. Yang dimaksudkan pemikiran dalam islam tiada lain adalah sebagai upaya
akal dari para ulama islam untuk menerangkan islam dari sumbernya yang asli,
ya’ni al qur’an dan hadits.
2)
Sumber tidak langsung,
ya’ni dapat ditelusuri melalui pemikiran-pemikiran pra islam sejak kekaisaran
Byzantium dan Sassaid, filsafat yunani maupun akibat pemberontakan pada masa
islam awal. Oleh Karena itu, kita mengetahui hubungannya dengan kemunculan
pemikiran dalam islam, khususnya ilmu kalam.
2.2 FAKTOR
INTERNAL
Untuk memudahkan pembahasannya, kami klasifikasikan menjadi 2 faktor,
yaitu :
1.
Dorongan dan
pemahaman Al Qur’an
Faktor
internal yang mengundang berbeda pendapat dan senantiasa mengajak umatnya untuk
berfikir. Kata-kata yang di pakai dalam Al qur’an untuk menggambarkan perbuatan
berfikir, misalnya, bukan hanya aqala, tetapi juga menggunakan beberapa
kata yang menunjukan kepada pengertian dan tuntutan yang sam.Harun Nasution
memberi contoh dari rincian ayat-ayat yang menganjurkan manusia untuk selalu
menggunakan akalnya, sebagaimana berikut :
- Nazara : surat Qaf ayat 6, ath-Thariq ayat 5
- Tadabbara : surat Shad ayat 29, Muhammad ayat 24
- Tafakkara : surat an Aahl ayat 69, al Jatsiah ayat 13,dst
Ayat tersebut mengandung anjuran, dorongan, bahkan
perintah agar manusia banyak berfikir untuk memperhatikan alam semesta beserta
isinya terutama hal-hal kepercayaan agama.
- Persoalan politik
Selain faktor di atas, faktor politik juga dapat memunculkan
mazdhab-mazdhab pemikiran di lingkungan umat islam , khususnya pada awal
perkembangannya. Maka, persoalan imamah (khilafah), menjadi persoalan
tersendiri dan khas yang menyebabkan perbedaan pendapat, bahkan perpecahan di
lingkungan umat islam. Persolan ini muncul mungkin karena umat islam menyadari
bahwa khalifah adalah amanah ilahi yang memiliki tujuan untuk mengembangkan
kultur, perdamaian serta menjamin manusia menjadi masyarakat yang tertib.
Tujuan itu telah berubah disebabkan kepentingan tujuan
pribadi maupun golongan, sehingga terjadi pertentangan politik (political
controversy) yang tentunya saling menyalahkan antar mereka.
Persoalan-persoalan politik memunculkan pula doktrin-doktrin
teologis. Misalnya, khawarij yang menolak Muawiyah sekaligus membenci Ali, membawa
fanatisme berlebihan dan menyatakan bahwa baik Muawiyah dan Ali adalah dosa
atau kafir. Kemudian diperjelas oleh asy Syahrastani bahwa istilah kafir oleh Khawarij
dikenakan kepada seorang muslim yang melakukan dosa besar. Tentu saja pandangan
teologis ini ditentang oleh Syiah, sebagai pengikut ali.
Khawarij mengemukakan tentang persoalan ini, bahwa
seorang yang melakukan dosa besar adalah tidak dapat disebut muslim lagi. Iman
dan Mal tidak dapat dipisahkan. Berbeda dengan murji’ah yang tidak menempatkan
suatu hukum bagi orang-orang yang melakukan dosa, tetapi di tangguhkan
penghakimannya sampai hari akhir dan keputusannya ada di tangan Allah.
Demikian, faktor
politik dapat memunculkan mazdhab-mazdhab pemikiran di lingkungan umat islam
khususnya pada awal perkembangan.
Sekaligus Prof. Dr. Ahmad Salaby menegaskan bahwa
munculnya persoalan-persoalan di tengah-tengah umat islam merupakan kelemahan
umat islam itu sendiri. Perbedaan diantara mereka menyebabkan terjadinya
perpecahan. Sekalipun ada ungkapan hadist “ perbedaan pendapat di kalangan
umatku itu menjadi rahmat “, pada pratiknya sulit diwujudkan. Hal ini,
bukan berarti agama menjadi sumber konflik, akan tetapi pemeluknya itu sendiri
yang menjadi sumber, yakni pertentangan masalah khilafah dan munculnya
sekte-sekte dalam agama. Persoalan-persoalan
teologis yang di munculkan dari pertikaian politik itu, terutama berkenaan
dengan apakah seorang muslim masih dapat disebut muslim ? atau apakah iman
dalam hati saja sudah cukup, atau haruskah dinyatakan dalam perbuatan ?
Khawarij mengemukakan pendapat bahwa seorang yang
melakukan dosa besar adalah tidak dapat disebut muslim lagi. Iman dan amal
tidak dapat dipisahkan dan kedua hal ini menjadi ini pahamnya. Berbeda dengan
murjiah yang tidak menetapkan status hukum bagi orang-orang yang melakuka dosa,
tetapi ditangguhkan penghakimannya sampai hari akhir dan keputusannyaada di
tangan Allah. Tampak jelas, murjiah berpandangan moderat menghadapi
kelompok-kelompok keras yang mendukung dan menentang Ustman dan Ali. Karena sikapnya
yang netral sering kali Murjiah disebut kaum Mu’tazilah. Lalu karena pahamnya
memperoleh sebutan kaum Jariyah dan Predeterminis.
Perbedaan pendapat di kalangan umat islam pada mulanya
di sebabkan persoalan politik yang pada akhirnya, berkembag menjadi persoalan
teologis. Pada masa Al Khulafaur Rasyidin, misalnya banyak muncul masalah
akidah yang sebenarnya bermula pada persoalan politik. Persoalan khalifah,
pengganti nabi Muhaammad SAW. Sebagai pemimpin umat islam yang menyebabkan
terpilah-pilahnya umat islam dalam berbagai aliran teologi.
- Persoalan teologi
Dari perdebatan dalam persoalan politik lalu menjalar
ke persoalan teologi. Seperti, sikap Khawarij terhadap Ustman, kaum Khawarij
juga memandang Ali dan Muawiyah sebagai kafir karena memkompromikan yang benar
dengan yang palsu. Karena itu mereka merencanakan untuk membunh Ali, Muawiyah,
dan Amr ibn Al ash gubernur Mesir yang sekeluarga membantu Muawiyah mengalahkan
Ali dalam perang Siffin tersebut. Namun yang terjadi kaum Khawarij melalui
seseorang bernama ibn Mujham, hanya berhasil membunh Ali. Sedangkan Muawiyah
hanya mengalami luka-luka, dan Amr ibn Ash selamat sepenuhnya. Mereka juga
membunuh sesorang yang bernama Khorijah yang dikira Amr ibn Al Ash karena
kemiripan rupanya.
Inilah awal mula munculnya perdebatan I’tiqodiyah dalam
jslam. Apakah seorang muslim yang berbuat dosa besar disebut kafir atau tidak.
Kaum Khawaruj jelas mengatakan bahwa mereka menjadi kafir dan di akhirat nanti
akan ditempetkan di neraka. Lalu munculah kelompok Murji’ah yang menentang
pendapat Khawarij dengan mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak
disebut kafir selam masih ada iman di dalam hati. Adapun masalah apa mereka
menjadi kafir atau tidak, diserahkan kepada Allah. Ada juga kelompok yang
mengatakan bahwa orang yang berbuat dosa besar tidak mukmin dan tidak pula
kafir. Dan ketika mereka meninggal, mereka berada diantara dua tempat, tidak di
surga dan tidak pula di neraka. Kelompok yang memilih pendapat ini dikenal
dengan nama kaum Mu’tazilah.
Persoalan ini telah menimbulkan 3 aliran teologi dalam
islam yaitu :
- Aliran khawarij, menegaska bahwa orang yang berdosa besar adalah kafir, dalam arti telah keluar dari islam atau tegasnya murtad dan wajib dibunuh.
- Aliran murjiah, menegaskan bahwa orang yang berbuat dosa besar masih tetap mukmin dan bukan kafir. Adapun soal dosa yang dilakukannya, hal itu terserah kepada Allah untuk mengampuni atau menghukumnya.
- Aliran mu’tazilah, yang tidak menerima kedua pendapat di atas. Bagi, mereka,orang yang berdosa besar bukan kafir, yang dalam bahasa arabnya terkenal dengan istilah al-manzilah manzilatain (posisi diantara dua posisi).
Dalam islam, timbul pula dua aliran teologi yang
terkenal dengan nama Qadariyah Jabariyah. Mrenurut Qadariyah, manusia mempunyai
kemedekaan dalam kehendak dan perbuatannya. Adapun Jabariyah, berpendapat
sebaliknya bahwamanusia tidak mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan
perbuatannya.
Aliran Mu’tazilah yang bercorak rasioal mendapat
tantangan keras dari golongan tradisional islam, terutama golongan Hambali,
yaitu pengikut-pengikut mazhab-mazhab Ibn Hambal. Mereka yang menantang ini
kemudian mengambil bentuk aliran teologi tradisional yang dipelopori Abu Al-Hasan
Al-Asyari. Di samping aliran Asy ariyah, timbul suatu aliran di Samarkand yang
juga bermaksud menentang aliran Mutazilah. Aliran ini didirikan oleh Abu Mansur
Muhammad Al Maturidi. Aliran kemudian terkenal dengan nama teologi Al-Maturidiyah.
Aliran-aliran Khawarij, Murjiah, dan Mu’tazilah
tak mempunyai wujud lagi, kecuali dalam sejarah. Adapun yang masih ada sampai
sekarang adalah aliran Asyariyah dan Maturidiyah yang keduanya
disebut Ahlusunnah wal Jama’ah.
2.3 FAKTOR
EKSTERNAL
Berupa paham-paham keagamaan non islam tertentu yang
mempengaruhi dan ikut mewarnai sebagian paham di lingkungan umat islam. Adapun
faktor eksternal yang lain adalah filsafat yunani. Dalam sejarah pemikiran islam,
filsafat ini berpengaruh terhadap orang-orang arab. Pemikiran filosofis ini
diadopsi bersamaan dengan penaklukan wilayah. Menurut Imam Muhammad Abu Zahrah,
filsafat yunani di perkenalkan kepada kaum muslimin melalui Persia yang secara
kebetulan wilayah ini masih di pengaruhi oleh filsafat, demikian juga ketika
menaklukan Syria, filsafat yunani sedang bahkan dijadikan “kemasan”agama
mereka.
Wajarlah jika filsafat yunani telah menarik perhatian
kaum muslimin, apalagi setelah adanya terjemahan-terjemahan buku filsafat
yunani kepada bahasa arab sejak kholifah al Mansyur dan mencapai puncaknya pada
masa khalifah al Maknun dari kekhalifahan Abasiyah. Sehingga al Maknun
dipandang telah membangkitkan kultur islam di Baghdad melalui perhatian dan
minat pribadinya terhadap pengetahuan yunani.
Filsafat Yunani telah dijadikan rujukn dan perlindungan
untuk mengatasi masalah-masalah teologi yang muncul pada saat itu. Misalnya,
bagaimana mengembangkan teokrasi yang ideal sesuai dengan keinginan Al Quran
dan tradisi data sejalan dan diwujudkan dalam kehidupan nyata. Retorika dan
metode diskusi sebagai bagian dari filsafat yunani, juga mendapat perhatian
sendiri dari kaum muslimi sebagai suatu ilmu yang membicarakan tentang tata
cara berdebat.
Pada kekhalifahan Abbasiyah inilah dimulai penerjemahan
buku-buku ilmu pengetahuan dan filsafat yuani ke dalam bahasa arab. Dari hasil
penerjemahan buku-buku peradaban yunani yang memberikan kedudukan tinggi kepada
akal inilah berkemabang pemikiran yang maju dan tinggi pula dalam islam, baik
dalam bidang keaagamaan maupun dalam
bidang on agama. Dalam bidang keagamaan munculah ilmu kalam , ilmu fiqih
termasuk di dalamnya soal politik, ilmu tafsir, ilmu hadist, ilmu tasawuf,
filsafat islam dll. Dalam biadang non agama timbul bahasa dan sastra arb, ilmu
kedokteran, matematika, optika, astronomi, ilmu alam , ilmu bumi, sejarah dll.
Muslim Arab meyakini bahwa Al qur’an dan teologi islam
merupakan summasi hukum dan pengalaman beragama. Oleh karena itu, muncul para
penulis arab, dan mereka telah member batasan antara filsafat dan agama.
Bersamaan dengan ini, maka kalam dalam arti teologi tampil secara perlahan dan
mutakalliminmenjadi sebuah sinonim dalam telogi. Dengan demikian, filsafat
yunani memberikan bantuan metodologis yang cukup besar dan berarti dalam ikut
menentukan pola pikir mutakallimin dalam menjelaskan ajaran islam. Hal ini
dapat dilihat dari dua aliran kalam terkenal di lingkungan umat islam. Yang
jelas-jelas menggunakan “metode filsafat” , yakni Mu’tazilah dan Asy ariyah.
Mutazilah, menurut sebagian ahli tokoh-tokoh mu’tazilah
merupakan pendiri ilmu kalam yang sebenarnya dalam islam. Kalam dibentuk dengan
pemikiran sistematis tentang akidah islam, telah disusun oleh para pendiri
Mu’tazilah dalam bentuk apologetic, sebagai pembelaan diri terhadap agamada
kepercayaan non islam, maupun terhadap kalangan umat islam sendiri yang tidak
sepaham dengan mereka. Dengan kalamnya itu, Mu’tazilah dianggap sebagai kampium
pembela akidah islam selama beberapa abad.
Menurut Abu Zahrah, ada dua alasan Mu’tazilah
mempelajari filsafat yunani yaitu berikut ini :
1.
Dalam filsafat ditemukan
keserasian dengan kecenderungan pikiran mereka. Kemudian dijadikan metode
berfikir, sehingga lebih kuat dan lancer berargumentasi.
2.
Ketika para filosof dan
pihak-pihak lain berusahamenentukan dasar-dasar ajaran agama islam dengan
argumentasi-argumentasi logika, Mu’tazilah dengan gigih menolak mereka, dengan
menggunakan metode diskusi yang di ambil dari metode filsafat.
Dengan demikian yang menjadi sukber pemikiran ilmu
kalam adalah Al Qur’an dan Al hadist. Sumber ini dipahami oleh umat islam
berdasarkan perkembangan sejarahnya. Dari upaya memahai sumber tersebut,
munculah aliran teologi dalam islam dengan masing-masing memiliki karakteristik
dan pola pemikiran yang berbeda.
SIMPULAN
Bahwasannya ilmu kalam baru saja dikenal oleh berbagai masyarakat. Dan pada abad ke 2 H
mulai berkembang sedikit demi sedikit.Temasuk olepemikiran-pemikiran islam.
Adapun pengaruh kemunculan ilmu kalam terdiri dari sumber langsung yaitu quran
dan hadist yang keduanya saling memotivasi. Dan juga dari sumber tidak langsung
yang ditelusuri sejak zaman pra islam.
Ada factor-faktor yang memudahkan kita dalam memahami pembahasan ini
yaitu factor internal yang terdiri dari dorongan dan pamahaman quran, persalan
politik yang salah satunya karena perbedaan politik yang menyangkut masalah
kholifah dan imamah. Selanjutnya, factor eksternal yang kaitnnya dengan
kalangan non islam yang berani mewarnai lingkungan umat islam. Seperti
halnya,bangsa yunani. Sehingga mu’tazilah terpengaruh mempelajari filsafat
yunani, hanya karena keserasian pada pemikiran mu’tazilah dan gigih menentang
argumentasi-argumentasi para filosof-filosof lain.
DAFTAR PUSTAKA
Rochimah : ilmu
kalam,(Surabaya:IAIN Press, 2011) Cet 1
A.Hanafi
:pengantar theology islam, (Kebon sirih Jakarta:Pustaka Al husna)
Nasution,
Harun:teologi islam, (Jakarta:Penerbit Universitas Indonesia press,1986)
Ghazali, Adeng
Muchtar: perkembangan ilmu kalam dari klasik hingga modern, (Bandung:Pustaka
Setia 2005)
Rozak, Abdul :
ilmu kalam, (Bandung: Penerbit Pustaka
Setia,2001) Cet 1
Tidak ada komentar:
Posting Komentar