BAB
II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Pendekatan dalam Pengelolaan
Kelas
Pendekatan
pembelajaran diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang dalam proses
pembelajaran yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
bersifat umum. Adapun pendekatan merupakan unsur penting yang harus dikuasai
pengajar sebelum mempersiapkan perencanaan pembelajaran.[1]
Sebagai
pekerja profesional, seorang guru harus mendalami kerangka acuan
pendekatan-pendekatan kelas, sebab di dalam penggunaannya ia harus terlebih
dahulu meyakinkan bahwa pendekatan yang dipilihnya untuk menangani sesuatu
kasus pengelolaan kelas merupakan alternatif yang terbaik sesuai dengan hakikat
masalahnya. Artinya seorang guru terlebih dahulu harus menetapkan bahwa
penggunaan sesuatu pendekatan memang cocok dengan hakikat masalah yang ingin
ditanggulangi. Ini tentu tidak dimaksudkan mengatakan bahwa seorang guru akan
berhasil baik setiap kali ia menangani kasus pengelolaan kelas. Sebaliknya,
keprofesionalan cara kerja seorang guru adalah demikian sehingga apabila
alternatif tindakannya yang pertama tidak memberikan hasil sebagaimana yang
diharapkan, maka ia masih mampu melakukan analisis ulang terhadap situasi untuk
kemudian tiba pada alternatif pendekatang yang kedua, dan seterusnya.[2]
Cara
kerja semacam ini berbeda sekali dengan pendekatan seorang tukang, juga di
kalangan pendidikan, misalnya yang menggantungkan diri pada resep-resep,
misalkan dalam bentuk aturan umum tentang apa yang harus dan apa yang tidak
boleh dikerjakan (daftar do’s dan don’ts seperti “selalulah bersikap adil”,
“suara harus tetap tenang dikala memarahi murid”, marahilah murid di bawah
empat mata” dan yang semacamnya). Seorang pekerja pendidikan yang
menggantungkan diri pada “buku resep” macam ini akan segera kehilangan akal
apabila suatu dalil yang ia terapkan ternyata tidak memberi hasil sebagaimana
diharapkan.
Ada
sejumlah konsep tentang pengelolaan kelas, sebagian diantaranya tidak lagi
dianggap memadai, misalnya pandangan otoriter yang melihat pengelolaan kelas
semata-mata sebagai upaya untuk menegakkan tata tertib, atau pandangan permisif
yang memusatkan perhatian pada usaha untuk memaksimalkan kebebasan murid. Di
dalam uaian ini akan dikemukakan tiga pandangan yang nampaknya member harapan,
baik dari penalarannya maupun berdasarkan informasi yang diperoleh melalui
penelitian-penelitian.
B. Pendekatan Managerial
Pendekatan
Managerial atau lebih umum dengan istilah pendekatan manajemen adalah sebuah
pendekatan yang bersifat sistematis, karena pengelolaannya yang teratur dalam
melibatkan unsur-unsur yang terpadu didalam proses pembelajaran.
Pengelolaan
kelas merupakan salah satu kegiatan yang perlu dipersiapkan sedemikian rupa
untuk mendukung pembelajaran aktif. Dalam buku Pendekatan Keterampilan
Proses, Prof. Dr. Cony Semiawan, dkk. Membagi pengelolaan kelas menjadi
tiga bagian, yaitu: 1) pengaturan kelas, 2) pengelompokan siswa melayani
kegiatan belajar mengajar, dan 3) tutor sebaya.[3]
1.
Pengaturan
Kelas
Tugas
utama guru adalah menciptakan suasana di dalam kelas agar terjadi interaksi
belajar yang dapat memotivasi siswa untuk belajar dengan baik dan
sungguh-sungguh. Untuk itu guru seyogyanya memiliki kemampuan untuk melakukan
interaksi belajar mengajar yang baik. Salah satu kemampuan yang sangat penting adalah
kemampuan mengatur kelas.
Untuk
menciptakan suasana yang dapat menumbuhkan gairah belajar, meningkatkan
prestasi belajar siswa, dan lebih memungkinkan guru memberikan bimbingan dan
bantuan terhadap siswa dalam pembelajaran, diperlukan pengorganisasian kelas
yang memadai. Pengorganisasian kelas adalah suatu rentetan kegiatan guru untuk
menunbuhkan dan mempertahankan organisasi kelas yang efektif, yang meliputi:
(1) tujuan pembelajaran, (2) pengaturan penggunaan waktu yang tersedia, (3)
pengaturan ruang dan perabot pelajaran di kelas, serta (4) pengelompokan dalam
belajar.
a.
Tujuan
Pembelajaran
Tujuan
pembelajaran merupakan pangkal tolak keberhasilan dalam mengajar. Makin jelas
rumusan tujuan, makin mudah menyusun rencana dan melaksanakan kegiatan belajar
siswa dalam melaksanakan kegiatan belajar siswa di bawah bimbingan guru.
b.
Waktu
Waktu
yang tersedia dalam jadwal untuk setiap pelajaran, untuk setiap caturwulan, dan
untuk satu tahun pelajaran yang sangat terbatas. Karena itu diperlukan
pengaturan waktu yang yang tersedia. Melalui pengaturan waktu yang tersedia,
diharapkan siswa dapat melakukan berbagai kegiatan belajar untuk mencapai
tujuan pembelajaran.
c.
Pengaturan
Ruang Belajar
Agar
tercipta suasana yang menyenangkan dan menggairahkan dalam belajar, perlu
diperhatikan pengaturan ruang belajar. Penyusunan dan pengaturan ruang belajar
hendaknya memungkinkan siswa duduk berkelompok dan memudahkan guru bergerak
secara leluasa untuk membantu siswa dalam belajar
Dalam pengaturan ruang
belajar, beberapa hal yang berikut perlu diperhatikan:
·
Ukuran
dan bentuk kelas
·
Bentuk
serta ukuran bangku dan meja siswa
·
Jumlah
siswa di dalam kelas
·
Jumlah
siswa di dalam setiap kelompok
·
Jumlah
kelompok di dalam kelas
·
Komposisi
siswa dalam kelompok (siswa pandai dengan siswa kurang pandai, pria dengan
wanita)
d.
Pengaturan
Siswa dalam Belajar
Dalam
belajar, siswa melakukan berbagai kegiatan belajar. kegiatan belajar siswa
disesuaikan dengan minat dan kebutuhan siswa. Ada siswa yang dapat belajar
sendiri dan ada pula yang dapat belajar secara berkelompok. Oleh karena itu
perlu pengelompokan belajar. di dalam penyusunan anggota kelompok, ada beberapa
hal yang perlu diperhatikan, yaitu:
1.
Kegiatan
belajar apa yang akan dilaksanakan (individual, berpasangan, kelompok atau
klasikal)?
2.
Siapa
yang menyusun anggota kelompok (guru, siswa, atau guru dan siswa)
3.
Atas
dasar apa kelompok itu selalu tetap atau berubah-ubah sesuai kebutuhan siswa
dalam belajar?
e.
Pengelompokan
Siswa Melayani Kegiatan Pembelajaran
Untuk
mewujudkan suasana belajar di mana siswa menjadi pusat kegiatan belajar, perlu
organisasi kelas yang luwes. Bangku, kursi, dan alat-alat lainnya mudah
dipindahkan untuk kepentingan bekerja kelompok. Ruangan kelas dan segala
fasilitas yang disediakan perlu diatur untuk melayani kegiatan belajar.
penempatan papan tulis tidak harus menetap di suatu tempat. Fasilitas kelas
hendaknya dapat melayani pemajangan hasil-hasil pekerjaan kelas.
Dalam melayani kegiatan
belajar aktif, pengelompokan siswa mempunyai arti tersendiri. Jadi dibedakan
dari pengelompokan yang sederhana sampai yang kompleks, maka pengelompokan
siswa dapat dibedakan dalam tiga jenis, yaitu: 1) pengelompokan menurut
“kesenangan berkawan”, 2) pengelompokan menurut kemampuan, 3) pengelompokan
menurut minat.
f.
Tutor
sebaya, siswa befungsi sebagai guru
Di
negrara maju, percobaan menggunakan siswa sebagai guru atau tutor sebaya telah
berlangsung dan menunjukkan keberhasilan. Di Indonesia sedang dicobakan. Dasar
pemikirannya adalah siswa yang pandai dapat memberikan bantuan kepada siswa
yang kurang pandai. Bantuan tersebut dapat dilakukan kepada teman sekelasnya di
sekolah atau kepada teman sekelasnya di luar sekolah.[4]
C. Pendekatan Psikologikal
Pendekatan pengelolaan kelas berdasarkan perubahan tingkah laku bertolak
dari sudut pandang psikologi behavioral yang mengemukakan asumsi sebagai
berikut :
1. Semua tingkah laku yang baik dari yang kurang baik merupakan hasil
proses belajar.
2. Dalam proses belajar terdapat proses psikologis yang fundamental berupa penguat positif (positive
reinforcement), hukuman (Punishment), penghapusan (extinction)
dan penguat negatif (negatif reinforcement).
Asumsi pertama mengharuskan guru kelas berusaha menyusun program kelas
dan suasana yang dapat merangsang terwujudnya proses belajar yang memungkinkan
siswa mewujudkan tingkah laku murut norma yang berlaku di lingkungan sekitar.
Asumsi kedua menunjukkan bahwa ada empat proses yang perlu
diperhitungkan dalam belajar bagi semua orang pada segala tingkatan umur dan
dalam segala keadaan (situasi). Proses belajar itu sebagian atau seluruhnya
dipengaruhi oleh kejadian-kejadian yang berlangsung di lingkungan. Dengan
demikian tugas guru ialah menguasai dan menerapkan keempat proses yang telah
terbukti merupakan pengontrol tingkah laku manusia, yaitu:
1. Penguatan positif (positive reinforcement)
2. Hukuman (punishment)
3. Penghapusan (extinction) dan penundaan (time out)
4. Penguat negatif (negative reinforcement)
1. Penguat Positif (positive reinforcement)
Dalam kegiatan belajar mengajar, penghargaan (penguat positif) mempunyai
arti penting. Tingkah laku dan penampilan siswa yang baik, diberi penghargaan
dalam bentuk senyuman atau pun kata-kata pujian yang merupakan penguat terhadap
tingkah laku dan penampilan siswa. Penguat adalah respons terhadap tingkah laku
yang dapat meningkatkan kemungkinan berulang kembali tingkah laku tersebut.
Adapun komponen-komponen yang perlu dipahami dan dikuasai penggunaannya oleh
guru agar ia dapat memberikan penguat secara bijaksana adalah sebagai berikut :
a. Penguat verbal yaitu penguat berupa kata-kata pujian, pengakuan, dorongan yang
dipergunakan untuk menguatkan tingkah laku dan penampilan siswa.
b. Penguat non verbal yaitu penguat berupa mimik dan gerakan badan, penguat dengan cara
mendekati, penguat dengan bentukan, penguat dengan kegiatan yang menyenangkan
dan penguat brupa simbol atau benda.
Penguat berupa mimik dan gerakan-gerakan badan seperti acungan ibu jari,
anggukan, senyuman, kadang-kadang dilaksanakan bersama-sama dengan penguat
verbal. Misalnya ketika guru memberikan penguat verbal “bagus sekali” kepada
seorang siswa, pada saat itu juga guru mengacungkan jempolnya ke arah siswa
itu. Namun demikian, penguat non verbal ini tidak harus selalu dilaksanakan
pada saat yang sama dengan penguat verbal.
Penguat dengan cara mendekati ialah mendekatnya guru kepada siswa untuk
menyatakan perhatian dan kesenangannya terhadap pekerjaan, tingkah laku atau
penampilan siswa. Cara tersebut dapat dilaksanakan antara lain dengan cara
duduk dekat seorang atau kelompok siswa, berdiri disamping siswa, berjalan
disisi siswa, dan sebagainya.
Penguat dengan sentuhan dapat dilaksanakan guru dengan menyatakan
persetujuan dan penghargaannya terhadap usaha atau penampilan siswa dengan
menepuk bahu atau menjabat tangan siswa. Penggunaan jenis penguat ini harus
dipertimbangkan dengan seksama, agar sesuai dengan jenis kelamin siswa, umur
siswa dan latar belakang kebudayaan setempat. Penguat berupa menepuk bahu siswa
misalnya, mungkin tidak tepat dilakukan guru laki-laki kepada siswa perempuan
atau sebaliknya.
Selain komponen-komponen pemberian penguat tersebut diatas, ada beberapa
prinsip yang melandasi penggunaan penguat yaitu:
1) Kehangatan dan keantusiasan
2) Kebermaknaan
3) Menghindari penggunan respons yang negatif
Dalam memberikan penguat, guru patut menampakkan kehangatan dan
keantusiasan. Gaya dan sikap guru termasuk mimik, suara dan gerakan badan, akan
menunjukkan adanya kehangatan dan keantusiasan dalam memberikan penguat. Siswa
perlu memahami hubungan antara tingkah laku dan penampilannya dengan penguat
yang diberikan kepadanya. Ia harus dapat mengerti dan yakin bahwa ia patut
diberi penguat itu karena sesuai dengan tingkah laku dan penampilannya. Dengan
demikian penguat itu bermakna baginya. Walaupun teguran dan hukuman tetap dapat
digunakan untuk mengontrol dan membina tingkah laku siswa, tetapi respons
negatif yang diberikan guru berupa komentar bernada menghina atau ejekan yang
kasar perlu dihindari, karena akan mematahkan semangat siswa untuk
mengembangkan dirinya. Karena iitu bila siswa tidak memberikan jaaban yang
diharapkan, janganlah guru langsung menyalahkannya, tetapi memindahkan giliran
menjawab oleh siswa lain. Jika pertanya tersebut terjawab oleh siswa lain,
siswa yang tidak dapat menjawabtadi dapat menyadari kesalahannya. Dengan
demikian guru menghindari pemberian respons negatif, sambil tetap berusaha
dengan bijaksana memberikan balikan kepada siswa yang membutuhkan bantuan guru.
2. Hukuman
Dalam mempergunakan hukuman sebagai suatu upaya pendidikan, guru harus
mengenali dan memahami keuntungan dan kerugian penggunaan hukuman. Beberapa
keuntungannya adalah:
1. Hukuman dapat menghentikan dengan segera tingkah laku siswa yang
menyimpang dan dapat mencegah berulangnya kembali tingkah laku itu dalam waktu
yang cukup lama.
2. Hukuman berfungsi sebagai pemberi petunjuk kepada siswa dengan kenyataan
bahwa siswa dibantu untuk segera mengetahui tingkah laku mana yang dapat
diterima.
3. Hukuman berfungsi sebagai pengajaran bagi siswa-siswi lain dengan
kenyataan bahwa hukuman itu mungkin mengurangi kemungkinan siswa-siswi lain
meniru tingkah laku yang mendapat hukuman itu.
Beberapa kerugian penggunaan hukuman meliputi:
1. Hukuman dapat ditafsirkan salah.
2. Hukuman dapat menyebabkan siswa yang bersangkutan menarik diri sama
sekali.
3. Hukuman dapat menyebabkan siswa agresif.
4. Hukuman dapat mempengaruhi kejiwaan siwa yang berangkutan.
Dalam menghukum, guru hendaklah berpedoman pada “punitur, qunia
peccatum est” (dihukum karena telah bersalah) dan “punitur no peccatum”
(dihukum agar tidak lagi berbuat kesalahan) (M.J. Langeveld, 1975). Namun guru
harus menyadari bahwa hukuman tidak boleh diberikan sebagai pembalasan dendam,
tidak diberikan dalam keadaan marah dan hukuman itu akan memberikan efek yang
positif terhadap perubahan tingkah laku siswa.
Selain dari itu, dalam melaksanakan hukuman guru harus memperhatikan
beberapa faktor sebagai berikut :
1. Hubungan sosial antara guru dan siswa sangat menentukan akibat-akibat
dari hukuman.
2. Hukuman harus dilaksanakan berbeda-beda sesuai dengan jenis kelamin dan
kepribadian siswa masing-masing.
3. Hukuman itu hendaknya ada sangkut-pautnya dengan pelanggaran.
4. Guru hendaknya berusaha mengadakan penilaian terhadap pandangan
siswa-siswi mengenai hukuman yang dijatuhkannya.
5. Dalam memberikan hukuman hendaknya ditinjau dari seluruh situasi
kegiatan belajar mengajar.
3. Penghapusan (extinction) dan penundaan (time out)
Penghapusan adalah menahan (tidak lagi memberikan) ganjaran yang
diharapkan akan diberikan seperti yang sudah-sudah (menahan pemberian penguat
positif). Penghapusan ini menghasilkan penurunan frekuensi tingkah laku yang
semula mendapat penguat.
Penundaan (time out) merupakan tindakan tidak jadi memberikan
ganjaran atau mengecualikan pemberian ganjaran untuk siswa tertentu. Penundaan
seperti ini menurunkan frekuensi penguat dan menurunkan frekuensi tingkah laku
siswa. Misalnya, para siswa di kelas Ibu Fatimah (guru Bahasa Inggris) yakin
baha guru mereka itu akan menyelenggarakan permainan kata-kata (word game)
jika para sisa mengerjakan tugas dengan baik. Permainan ini digemari oleh para
siswa. Ternyata siswa-siswi memang mengerjakan tugas dengan baik kecuali Totok.
Ibu fatimah mengatakan pada Totok tidak diperkenankan ikut serta dalam
permainan itu dan duduk sendiri dari kelompoknya (mengecualikan pemberian
ganjaran untuk siswa tertentu). Selanjutnya, Totok mengerjakan tugas-tugas
dengan lebih baik.
4. Penguat negatif (Negative Reinforcement)
Yang dimaksud penguat negatif adalah peniadaan perangsang yang tidak
mengenakkan (hukuman) setelah ditampilkannya suatu tingkah laku yang
mengakibatkan menurunnya frekuensi tingkah laku yang dimaksud. Peniadaan
hukuman itu memperkuat tingkah laku yang ditampilkan dan meningkatkan
kecenderungan diulanginya tingkah laku tersebut. Misalnya, Neneng adalah salah
seorang siswa yang terus-menerus menyerahkan kepada guru laporan yang ditulis
tidak rapi. Meskipun guru terus-menerus menegur dan memarahinya,
laporam-laporan nenenng itu tetap tidak lebih baik. Pada suatu ketika Neneng
menyerahkan laporan agak rapi, guru menerima laporan Neneng itu tanpa komentar
dan tanpa teguran (marah) yang selama ini ditempakan kepadanya (peniadaan
hukuman). Selanjutnya, laporan-laporan neneng menjadi lebih rapi (frekuensi
tingkah laku meningkat).[5]
Dalam
pendekatan psikologikal selain dari buku Mulyadi yang berjudul Classroom
Management. Penjelasan yang di jelaskan tidak jauh dari yang sudah
dijelaskan di atas, ini adalah sebagai penambahan pengetahuan kepada kita,
bahwa pendekatan psikologikal sangat penting dalam pengelolaan kelas yang harus
diketahui oleh seorang guru, penjelasannya adalah sebagai berikut:
Behaviour-Modification
Approach
Pendekatan
ini bertolak dari psikologi behaviral yang mengemukakan asumsi bahwa
1)
Semua
tingkah laku, yang “baik” maupun “yang kurang baik” merupakan hasil proses
belajar
2)
Ada
sejumlah proses psikologi yang fundamental yang dapat digunakan untuk
menjelaskan terjadinya proses belajar yang dimaksud, adapu proses psikologi
yang dimaksud adalah penguatan positif (positive reinforcement), hukuman,
penghapusan (extinction), dan penguatan negative (negative reinforcement)
Penguatan ini sendiri ada dua macam,
yaitu penguatan primer (primary or unconditioned reinforcers yang menjadi
penguat sebagai hasil proses belajar), dan penguatan sekunder (secondary or
conditioned reinforcers yang menjadi penguat sebagai hasil dari proses
belajar).
Hukuman merupakan sarana pengelolaan
kelas yang kontroversial. Sebagian menganggap bahwa hukuman merupakan alat yang
efektif untuk dengan segera menghentikan tingkah laku yang tidak dikehendaki di
samping sekaligus bisa merupakan suri tauladan bagi murid lain secara tegas
mendefinisikan tingkah laku yang tidak dikehendaki, akan tetapi akibat
sampingan bisa serius. Misalnya, hubungan pribadi antara guru (penghukum) dan
murid (terhukum) dapat terganggu murid terhukum dan mungkin juga yang lain
mungkin menggeneralisasikan tingkah laku yang dihukum, misalnya murid kapok
mengemukakan pendapat: atau murid yang dihukum justru menjadi “pahlawan” dimata
kawan-kawannya.
Socio – Emotional-Climate Approach
Dengan
berlandaskan Psikologi Klinis dan Konseling, pendekatan pengelolaan kelas ini
mengasumsikan bahwa:
1.
Proses
belajar mengajar yang efektif mempersyaratkan iklim sosio-personal yang baik
dalam arti terdapat hubungan inter-personal yang baik antar guru murid dan
antar murid.
2.
Guru
menduduki posisi terpenting bagi terbentuknya iklim sosio-emosional yang baik
itu.
Ada
sejumlah ahli yang menganjurkan pendekatan ini.
Carls
A. Rogers menekankan pentingnya guru bersikap tulus di hadapan murid (roalness,
genueness and congruence); menerima dan menghadapi murid sebagai manusia
(acceptance, prizing, caring, and trust); dan mengerti murid dari sudut
pandangan murid sendiri (emphatio understanding). Selanjutnya Halm C. Ginott
mengaggap sangat penting kemampuan guru melakukan komunikasi yang efektif
dengan murid dalam arti dalam mengusahakan pemecahan masala, guru membicarakan
situasi, dan bukan pribadi pelaku pelanggaran. Dengan perkataan lain, William
Glasser memusatkan perhatiannya pada pentingnya guru membina rasa tanggung
jawab sosial dan harga diri murid dengan cara setiap kali mengarahkan murid
untuk mendeskripsikan masalah yang dihadapi.[6]
Group-Processess
Approach
Dan
Pendekatan ini didasarkan pada Psikologi Sosial dan Dinamika Kelompok. Oleh
karena itu maka asumsi pokoknya adalah
1.
Pengalaman
belajar sekolah berlangsung dalam kontek kelompok sosial
2.
Tugas
guru yang terutama dalam pengelolaan kelas adalah membina dan memelihara
kelompok yang produktif dan kohesif.
Menurut
Richard A. Schmuck dan Patricia A. Schmuck unsur-unsur pengelolaan Pexpectation) tingkah laku guru-murid dan
antar murid sendiri; (2) kepemimpinan baik dari guru maupun dari murid yang
mengarahkan kegiatan kelompok kearah pencapaian tujuan-tujuan yang telah
ditetapkan; (3) pola persahabtan (attraction) antara anggota kelas semakin baik
ikatan persahabtan yang dimaksud semakin besar peluang kelompok menjadi
produktif; (4) norma, dalam arti dimiliki serta dipertahankan noema kelompok
yang produktif, serta diubah dan digantinya norma yang kurang produktif.
Eclectic
Approach
Akhirnya,
apabila disimak secara seksama maka ketiga pendekatan yang telah diuraikan di
muka adalah ibarat sudut pandangan yang berbeda-beda terhadap obyek yang sama.
Oleh karena itu maka seorang guru seyogyanya (1) menguasai
pendekatan-pendekatan pengelolaan kelas yang potensional, dalam hal ini
pendekatan perubahan tingkah laku. Penciptaan Iklim Sosio-Emosional dan proses
Kelompok; dan (2) dapat memilih pendekatan yang tepat dan melaksanakan prosedur
yang sesuai dengan baik dalam masalah pengelolaan kelas. Pada gilirannya
kemampuan guru memilih strategi pengelolaan kelas yang tepat sangat terganting
pada kemampuannya menganalisis masalah pengelolaan kelas yang dihadapinya.
Pendekatan
perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan
dilakukan adalah menguatkan tingkah laku murid yang baik dan/atau menghilangkan
tingkah laku murid yang kurang baik; pendekatan Penciptaan Iklim
Sosio-Emosional dipergunakan apabila sasarn tindakan pengelolaan adalah
peningkatan hubungan antar pribadi guru murid dan antar murid, sedangkan
pendekatan Proses Kelompok dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan
kegiatan secara produktif.[7]
D. Pendekatan Sistem
Pada
dasarnya proses pembelajaran terkait dengan berbagai komponen yang sangat
kompleks. Komponen tersebut meliputi tujuan, materi, media, siswa, guru dan
komponen lainnya. Masing-masing komponen tersebut saling terkait sebagau suatu
sistem. Oleh sebab itu, penyusunan perencanaan pembelajaran perlu didasarkan
pada pendekatan sistem.
Sistem
berarti gabungan dari beberapa komponen sebagai satu kesatuan yang utuh untuk
mencapai tujuan. Suatu sistem dapat menjadi supra atau subsistem dari sistem
lainnya. Supra sistem adalah suatu sistem yang berada di atasnya. Sedangkan
subsistem adalah sistem yang berada dalam sistem. Misalnya, sistem pembelajaran
dapat menjadi supra dari sistem metode metode pembelajaran dan dapat menjadi su
sistem dari sistem sekolah.
Suatu
sistem merupakan keterkaitan antara (masukan), proses, dan (keluaran).
Misalnya, masukan dari pembelajaran dapat berupa siswa, guru, materi, dan
media. Proses pembelajaran adalah aktivitas kegiatan pembelajaran. Keluaran
dapat berupa perubahan diri siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran.[8]
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Pendekatan
pembelajaran diartikan sebagai titik tolak atau sudut pandang dalam proses
pembelajaran yang merujuk pada pandangan tentang terjadinya suatu proses yang
bersifat umum. Adapun pendekatan merupakan unsur penting yang harus dikuasai
pengajar sebelum mempersiapkan perencanaan pembelajaran.
Pendekatan
Managerial atau lebih umum dengan istilah pendekatan manajemen adalah sebuah
pendekatan yang bersifat sistematis, karena pengelolaannya yang teratur dalam
melibatkan unsur-unsur yang terpadu didalam proses pembelajaran.
Pendekatan
perubahan tingkah laku dipilih bila tujuan tindakan pengelolaan yang akan
dilakukan adalah menguatkan tingkah laku murid yang baik dan/atau menghilangkan
tingkah laku murid yang kurang baik; pendekatan Penciptaan Iklim Sosio-Emosional
dipergunakan apabila sasarn tindakan pengelolaan adalah peningkatan hubungan
antar pribadi guru murid dan antar murid, sedangkan pendekatan Proses Kelompok
dianut bila seorang guru ingin kelompoknya melakukan kegiatan secara produktif.
Komponen
tersebut meliputi tujuan, materi, media, siswa, guru dan komponen lainnya.
Masing-masing komponen tersebut saling terkait sebagau suatu sistem. Oleh sebab
itu, penyusunan perencanaan pembelajaran perlu didasarkan pada pendekatan
sistem.
Sistem
berarti gabungan dari beberapa komponen sebagai satu kesatuan yang utuh untuk
mencapai tujuan. Suatu sistem dapat menjadi supra atau subsistem dari sistem
lainnya. Supra sistem adalah suatu sistem yang berada di atasnya. Sedangkan
subsistem adalah sistem yang berada dalam sistem. Misalnya, sistem pembelajaran
dapat menjadi supra dari sistem metode metode pembelajaran dan dapat menjadi su
sistem dari sistem sekolah.
Suatu
sistem merupakan keterkaitan antara (masukan), proses, dan (keluaran).
Misalnya, masukan dari pembelajaran dapat berupa siswa, guru, materi, dan
media. Proses pembelajaran adalah aktivitas kegiatan pembelajaran. Keluaran
dapat berupa perubahan diri siswa sebagai hasil dari proses pembelajaran.
DAFTAR PUSTAKA
Abu Ahmadi, Ahmad Rohani, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi
Pendidikan di
Sekolah, Jakarta: Bumi Aksara, 1991
Achmad Sapari, supriono S, Manajemen Berbasis Sekolah Jatim:
SIC, 2001
Cony Semiawan, dkk, Pendekatan Keterampilan Proses, Jakarta:
1987
Hadari Nawawi, Organisasi Sekolah dan Pengelolaan kelas Sebagai
Lembaga Pendidikan,
Jakarta: CV Haji Masagung, 1989
Mulyadi.Classroom Management. Malang: UIN malang Press.2009
Rohani Ahmad, Pengelolaan Pengajaran, Jakarta: PT. Rineka
Cipta, 2004
Suwardi, Manajemen Pendidikan, Salatiga:
STAIN Salatiga Press, 2007
[2] Abu
Ahmadi, Ahmad Rohani, Pedoman Penyelenggaraan Administrasi Pendidikan di
Sekolah, (Jakarta: Bumi Aksara, 1991), hal.142
[3] Prof. Dr. Cony Semiawan,
dkk, Pendekatan Keterampilan Proses, (Jakarta: 1987), hal. 71.
[6] Hadari Nawawi,
Organisasi Sekolah dan Pengelolaan kelas Sebagai Lembaga Pendidikan, (Jakarta:
CV Haji Masagung, 1989), hal 140-142
Tidak ada komentar:
Posting Komentar