Minggu, 16 Juni 2013

VERIFIKASI DAN FALSIFIKASI



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Verifikasi (Vienna Circle)
1.      Latar Belakang
Lingkaran Wina (dalam bahasa Jerman: Wiener Kreis, atau Vienna Circle dalam bahasa Inggris) adalah suatu kelompok yang terdiri dari sarjana-sarjana ilmu pasti dan alam di Wina, ibukota Austria. Kelompok ini didirikan oleh Moritz Schlick pada tahun 1924. Anggota-anggotanya antara lain: Moritz Schlick (1882-1936), Hans Hahn (1880–1934), Otto Neu-Victor Kraft (1880–1975).[1]

Lingkaran Wina, merupakan kelompok yang menganut aliran Neopositivisme logis. Logistik supaya diterapkan terhadap filsafat. Pengalaman berguna bagi pengetahuan. Menolak setiap bentuk metafisik.[2]

2.      Pokok-pokok Pemikiran
Lingkaran Wina mencoba mengembangkan pandangan yang disebut sebagai neopositivisme atau positivisme logis. Pandangan ini sangat dipengaruhi oleh pandangan Comte tentang pengetahuan yang bersifat positif (ilmu pengetahuan yang berlandaskan pada pendekatan logis dan pasti/matematis). Lingkaran Wina mencoba untuk menyatukan keanekaragaman ilmu pengetahuan dengan bahasa dan cara kerja ilmu-ilmu alam yang disebut sebagai unified science atau einheitswissenschaft ’ilmu yang terpadu’. Ilmu yang terpadu dijabarkan dalam pandangan neopositivisme bahwa:
a.       sumber pengalaman hanya satu, yaitu pengalaman yang berasal dari data indrawi
b.      adanya dalil logika dan matematika yang berguna untuk mengolah data indrawi
c.       adanya demarkasi atau garis batas antara meaningfull ‘pernyataan bermakna’ dan meaningless ‘pernyataan yang tidak bermakna’
d.      menolak metafisika
e.       filsafat Ilmu Pengetahuan dipandang sebagai  the logic of scince ‘logika ilmu’[3].
Kelompok Lingkaran Wina berpendapat hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu pengalaman inderawi. Selain pengalaman itu mereka mengakui adanya dalil-dalil logika dan matematika yang tidak  dihasilkan lewat pengalaman.     
Dalam rangka mencari garis batas atau demarkasi antara pernyataan yang bermakna dan yang tidak bermakna, hanya ada dua pertanyaan yang berarti. Pertama “how do you know”? (lebih dalam yang dimaksud ialah “how do you verify?”), dan “what do you mean?” (maksudnya: berilah uraian atau analisa logis dari pernyataan anda).
Sebagai akibat prinsip ini, semua ungkapan dalam bidang teologi dianggap tidak bermakna sama sekali, misalnya tentang danya Allah, penciptaan, jiwa yang tak dapat mati, dan lain sebagainya. Soal-soal filsafat juga hanya semu belaka karena menggunakan bahasa yang tidak bermakna, penuh emosi dan perasaan. Etika pun mustahil menjadi ilmu mengenai norma. Oleh karena itu tugas bagi filsafat ialah memeriksa susunan logis bahasa ilmiah, baik dalam perumusan penyelidikan ilmu alam, maupun dalam bidang logika dan matematika. Mereka tidak membedakan bahasa yang harus digunakan ilmu-ilmu kemanusiaan dari ilmu-ilmu alam. Satu-satunya bahasa serta cara kerja yang berlaku dan yang harus digunakan ialah bahasa dan cara kerja ilmu-ilmu alam. Oleh karena itu pengetahuan dapat dijabarkan menjadi suatu ilmu terpadu.[4]

3.      Filsafat Ilmu dalam Pandangan Positivisme Logis
Lingkaran Wina memandang filsafat ilmu pengetahuan sebagai logika ilmu (the logic of science). Sebagai implikasinya, filsafat ilmu harus disusun berdasarkan analogi logika formal. Logika ilmu lebih mengurusi bentuk-bentuk logis pernyataan ilmiah. Kerja seorang filsuf ilmu pengetahuan hanyalah melakukan konstruksi representasi formal dari ungkapan-ungkapan ilmiah. Tidak peduli dengan detil perkembangan perkembangan ilmu yang sesungguhnya terjadi, perubahan teori-teori illmiah yang terjadi, hanya sibuk dengan kriteria umum tentang rasionalitas penjelasan ilmiah atau teori ilmiah.[5]
Karena lebih mengedepankan analogi logika formal, yang artinya lebih mengarah pada forma atau ‘bentuk’ proposisi dan argumen-argumen logis, sehingga dengan demikian bentuk-bentuk logis pernyataan ilmiah lebih menonjol dalam logika ilmu. Dengan demikian, dalam neopositivisme yang dipentingkan adalah context of justification ‘konteks pengujian dan pembenaran’ ilmu pengetahuan yang bersangkutan. Mereka lebih berkepentingan dengan pengujian susunan logis pernyataan-pernyataan ilmiah yang digunakan dalam suatu penelitian daripada context of discovery ‘konteks penemuan’ atau pun perkembangan suatu ilmu.[6]
Tidak ada context of discovery dalam ilmu pengeteahuan, yang ada hanyalah konteks pengujian dan pembenaran (context of justification) ilmu pengeteahuan bersangkutan. Perkembangan ilmu pengeteahuan tidak penting, hanya mementingkan pengujian penelitian logis pernyataan-pernyataan ilmiah yang digunakan. Karena tidak memperhatikan perkembangan ilmu, prestasi perseorangan yang satu seakan-akan diletakkan begitu saja di atas yang lain, ilmu pengetahuan hanya didasarkan pada jasa-jasa perseorangan tersebut dan lepas dari kehidupan sosial.
Beberapa tokoh yang berpengaruh pada pandangan Lingkaran Wina ialah Ludwig Wittgenstein, Whitehead dan Russel. Wittgenstein dalam karyanya yang termasyhur, Tractatus Logicophilosophicus, ia menganggap bahwa kerangka pikiran dan penalaran logis-matematis adalah cerminan atau lukisan dari kenyataan yang mau dikenal manusia. Makin kita memperoleh pandangan yang secara logis paling terperinci, makin kita dekat dengan pandangan tentang kenyataan dengan segala hubungan yang terjalin di dalamnya.
Sementara itu, Russel dan Whitehead dengan karyanya Principia Mathematica mengungkapkan dalil-dalil matematika dalam bahasa logika. Semua matematika dapat diungkapkan dengan logika, dan logikalah yang merupakan inti matematika. Hal ini menimbulkan gagasan Lingkaran Wina bahwa pernyataan-pernyataan matematis dari hukum-hukum ilmiah dan juga ungkapan teoretis dapat dapat dibahaskan dalam logika matematis. Maka terciptalah ungkapan logis-matematis, ungkapan teoretis, dan ungkapan observasi. Maka, pengamatan dan teori dipisahkan. Keduanya dihubungkan oleh aturan-aturan buatan yang dinamakan aturan-aturan persesuaian (correspondence rules).[7]
B.     Falsifikasi (Karl R. Popper)
1.      Riwayat Hidup
Popper lahir di kota Wina pada tahun 1902. Ia belajar di Universitas Wina. Setelah Perang Dunia II usai, Popper bekerja sebagai dosen di London School of Economics, sebuah institute yang berada di bawah naungan Universitas London. Karena pengabdiannya yang besar pada ilmu pengetahuan, kerajaan Inggris menganugerahkan gelar kebangsawanan “Sir” pada Karl Popper pada tahun 1964. Salah satu karyanya yang terkenal adalah The Logic of Scientific Discovery (1959), sebuah buku yang menjelaskan dasar logis cara kerja ilmu empiris.[8]
Pada masa mudanya ia banyak berkenalan dengan tokoh Lingkaran Wina, namun tidak menjadi anggota, karena anggapan-anggapannya selalu dihubungkan dengan positivisme logis. Karya-karyanya antara lain, The Logic of Scientific Discovery (1959), The Open Society and Its Enemies, yang merupakan refleksi historis dan falsafi atas pemaksaan yang terjadi dalam pemerintahan totaliter. Sementara The Poverty of Historicism (1957) dimaksudkan sebagai teori di belakang The Open Society. Sedang lanjutan pemikirannya tentang filsafat ilmu pengetahuan yang dimulai dalam Logik der Forschung (1957) ada dalam dua kumpulan karangan yang berjudul Conjectures and Refutations, The Growth of Scientific Knowledge (1963), dan Objective Knowledge, An Evolutionaary Approach (1972). Suatu otobiografi mengenai perkembangan gagasan-gagasannya dalam The Philosophy of Karl Popper (1974), yang disunting oleh Paul A. Schilpp. Beberapa anggapan mutakhir Popper bersama   Popper John C. Eccles dapat ditemukan dalam The Self and Its Brain (1977). Kemudian karya barunya Postcript to The Logic of Scientific Discovery, yang terdiri dari tiga jilid.[9]

2.      Pokok-pokok Pemikiran
a.      Dasar Logis Cara Kerja Ilmu Empiris
Popper menentang pendaat Lingkaran Wina mengenai meaningfull dan meaningless berdasarkan kriterium dapat tidaknya dibenarkan secara empiris. Tetapi dia mengganti perbedaan itu dengan garis batas atau demarkasi antara ungkapan ilmiah dan tidak ilmiah. Ungkapan yang tidak bersifat ilmiah mungkin sekali amat bernakna. Ungkapan bersifat empiris atau tidak, tidak bisa ditentukan berdasarkan atas pembenaran yang dianut positivism logis.
Popper mengemukakan prinsip falsifiabilitas. Artinya cirri khas pengetahuan ilmiah ialah bahwa dapat dibuktikan salah. Untuk mencapai pandangan ini Popper menggunakan kebenaran logis yang sangat sederhana. Ia mengatakan: “Dengan observasi terhadap angsa-angsa putih, betapapun besar jumlahnya, orang tidak dapat sampai pada kesimpulan bahwa semua angsa berwarna putih, tetapi sementara itu cukup satu kali observasi terhadap seekor angsa hitam unutk menyangkal pendapat tadi”.
Menurut Popper, bahwa bukan dapat dapat dibenarkan melainkan dapat dibuktikan salah. Bila suatu hipotesa dapat dibuktikan salah, maka hipotesa yang lain akan ditinggalkan. Suatu teori baru akan dapat diterima bila sudah bisa mengalahkan teori sebelumnya. Pengujian kedua teori ini melalui tes empiris, yakni tes untuk membuktikan teori mana yang lebih benar. Bila teori baru yang benar, maka teori lama akan gagal (memfalsifikasi). Dengan demikian ilmu pengetahuan maju dengan melewati proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkianan kekeliruan dan kesalahan. Epistemologi Popper sering sering dijuluki epistemoloigi pemecahan masalah. Kalau teori baru itu sesuai dan berdaya guna, maka dapat menyingkirkan teori yang lama.[10]
b.      Pengujian deduktif terhadap teori-teori
Dari sebuah ide baru yang diajukan, yang belum dibenarkan dengan cara apapun, kesimpulan-kesimpulan ditarik dengan cara deduksi logis, kemudidan didandingkan satu sama  laindan bersama pernyataan-pernyataan lain yang terkait, sehingga ditemukan relasi-relasi logis apa yang ada di antara pernyataan-pernyataan tersebut.
Ada empat jalur untuk menguji sebuah teori:
1)      Perbandingan kesimpulan-kesimpulan di antara mereka
2)      Menyelidiki bentuk logis teori itu, apakah berciri teori empiris atau ilmiah, atau bersifat tautologis.
3)      Membandingkan dengan teori-teori lain
4)      Pengujian teori melalui penerapan empiris kesimpulan-kesimpulan yang dapat diperoleh darinya.
Selanjutnya buat suatu putusan berkenaan dengan pernyataan-pernyataan yang diperoleh dengan cara membandingkannya dengan hasil penerapan-penerapan dan eksperimen-eksperimaen praktis. Jika putusan itu bersifat positif, untuk sementara waktu, telah lolos dari ujiannya. Suatu teori positif hanya dapat mendukung teori itu sementara waktu, karena pututsan-putusan negatif berikutnya selalu mungkin menjatuhkannya.[11]
c.       Falsifikasi
Suatu teori difalsifikasi hanya jika telah menerima persyaratan-persyaratan dasar yang menyangkalnya. Segelintir pernyataan-pernyataan dasar yang sesat, yang menyangkal sebuah teori, tidak bisa mengalahkan sebuah teori yang sudah difalsifiaksi. Bisa dianggap sudah difalsifikasi apabila sudah ditemukan hipotesis yang menyangkla teori itu. Dengan kata lain, kita hanya menerima falsifikasi itu jika suatu hipotesis empiris berlevel rendah yang melukiskan akibat tersebut diajukan. Hipotesis yang bisa difalsifikasi harus berada dalam suatu hubungan logis tertentu dengan pernyataan yang mungkin. Kmudidan hipotesis itu harus menghadapi ujian-ujian yang menghadapkannya dengan pernyataan-pernyataan dasar yang diterima.[12]
d.      Pandangan Popper tentang “Dunia 3”
Popper memperluas lingkup persoalannya dengan pertanyaan: di manakah letak seluruh sistem ilmu pengetahuan dengan segala hipotesa, hukum, dan teori yang pernah muncul dan yang dapat dimengerti sebagai suatu keseluruhan yang masuk akal itu?
Pertanyaan dasar ini dijawab Popper dengan pertama-tama membedakan Dunia I (World I), yaitu kenyataan fisis dunia, Dunia 2 (World II), yaitu segala kejadian dan kenyataan psikis dalam diri manusia, dan dari Dunia 3 (World III), yaitu segala hipotesa, hukum, dan teori ciptaan manusia dan hasil kerja sama antara Dunia 1 dan Dunia 2, serta seluruh bidang kebudayaan, seni, metafisik, agama, dan lain sebagainya. Dunia 3 hanya ada selama dihayati, yaitu dalam karya dan penelitian ilmiah, dalam studi yang sedang berlangsung, membaca buku, dan ilham yang ada dalam diri para seniman. Sesudah penghayatan itu, semuanya langsung “mengendap” dalam bentuk alat-alat ilmiah, buku, karya seni, kitab-kitab suci, dan lain sebagainya, yang semuanya merupakan bagian dari Dunia 1.
Popper menganut indeterminisme, dan terhadap subjektivisme semata-mata, di mana seolah-olah hukum-hukum alam dimiliki atau dikuasai manusia, Popper memilih pandangan yang mengatakan bahwa manusia bergerak semakin mendekati kebenaran.[13]

3.      Demarkasi
Popper merumuskan demarkaasi sebagai masalah bagaimana menemukan sebuah kriteria yang bisa membedakan ilmu-ilmu empiris dari matematika, logika  dan system-sistem metafisik. Logika induktif mengakibatkan pengetahuan metafisika tidak bermakna sama sekali.
Popper hendak merumuskan sebuah kriteria demarkasi antara ilmu dan non ilmu (metafisika). Kriteria demarkasi yang digunakan oleh Popper adalah kriteria falsifiabilitas (kemampuan dan kemungkinan disalahkan atau disangkal). Setiap pernyataan ilmiah pada dasarnya mengandung kemampuan disangkal, jadi ilmu pengetahuan empiris harus bisa diuji secara deduktif dan terbuka kepada kemungkinan falsifikasi empiris.[14]

     
BAB III
KESIMPULAN
            Lingkaran Wina adalah sekelompok sarjana-sarjana ilmu-ilmu pasti dan alam di Wina, ibukota Austria. Pemikiran aliran Wina adalah neopositivisme atau kerap juga dinamakan empirisme logis. Mereka berpendapat bahwa hanya ada satu sumber pengalaman saja, yaitu pengalaman yang mengenal data-data indrawi. Filsafat tradisional harus ditolak, semua ungkapan dalam bidang teologi dianggap tidak bermakna sama sekali. Soal-soal filsfat hanya semu belaka, karena tidak didasarkan pada bahasa yang bermakna dan sahih, melainkan pada penggunaan bahasa yang penuh emosi dan perasaan.
            Sedangkan pemikiran dari Karl R. Popper tentang falsifikasi menentang beberapa pendapat Lingkaran Wina. Popper menentang pembedaan antara ungkapan bermakna dan tidak bermakna, tetapi mengganti pernyataan itu dengan menyebut garis batas atau demarkasi antara pernyataan ilmiah dan tidak ilmiah. Popper mengemukakan prinsip falsibialitas, artinya ciri khas pengetahuan ilmiah ialah bahwa dapat dibuktikan salah.







DAFTAR PUSTAKA
Budianto, Irmayanti M. 2005. Realitas dan Objektovitas. Jakarta: Wedatama Widya Sastra.
Hartoko, Dick. 2002. Kamus Populer Filsafat. Jakarta: Raja Grafindo Persada.
Popper, Karl R. 2008. Logika Penemuan Ilmiah. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Verhaak, C. 1995. Filsafat Ilmu Pengetahuan. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.






[1] C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 153-154.
[2] Dick Hartoko, Kamus Populer Filsafat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002), h. 108.
[3] Imayanti M. Budianto, Realitas dan objektivitas, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2005), h. 40-41.
[4] C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 154-155.
[5] Ibid, h. 155-156.
[6] Imayanti M. Budianto, Realitas Dan Objektifitas, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2005),  h. 41.
[7] C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h. 156-157.
[8] Imayanti M. Budianto, Realitas Dan Objektifitas, (Jakarta: Wedatama Widya Sastra, 2005),  h. 42.
[9]C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h.158.
[10] Ibid, h. 158-160.
[11]Karl R. Popper, The Logic of Scientific Discovery, diterjemahkan oleh Saut Pasaribu dan Aji Sastrowardoyo dengan judul Logika Penemuan Ilmiah, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), h. 10-12.
[12] Ibid, h. 84-86.
[13] C. Verhaak, Filsafat Ilmu Pengetahuan, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1995), h.161-162.
[14] Paul Kalkoy, “Karl R. Popper dan Falsifikasi”, diakses pada tanggal 11 Mei 2012 dari http://leonardoansis.wordpress.com/goresan-pena-sahabatku-yono/goresan-pena-sahabatku-paul-kalkoy/karl-r-popper-dan-falsifikasi/

Tidak ada komentar:

Posting Komentar