BAB
II
PEMBAHASAN
A.
Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di
muka bumi ini, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada
ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah
sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang
menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi
masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau kita lihat dari
sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan
munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang
mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” (Q.S al alaq : 1). Perintah
ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat
menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama, itu
menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik,
dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
Selanjutnya, dalam surat al-Zumar ayat 9 juga dinyatakan:
Artinya : ……..Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ( QS Az Zumar : 9 ). Di samping kedua ayat tersebut di atas, ada juga (QS Al mujadalah : 11). Ayat- ayat di atas mengisyaratkan betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengembangkannya bahkan merupakan sebuah kewajiban, karena dengan ilmu pengetahuanlah manusia dapat mencapai kemuliaan dengan mendapat derajat yang tinggi dan luhur.
Artinya : ……..Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ( QS Az Zumar : 9 ). Di samping kedua ayat tersebut di atas, ada juga (QS Al mujadalah : 11). Ayat- ayat di atas mengisyaratkan betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengembangkannya bahkan merupakan sebuah kewajiban, karena dengan ilmu pengetahuanlah manusia dapat mencapai kemuliaan dengan mendapat derajat yang tinggi dan luhur.
Selain ayat-ayat
tersebut di atas, ada juga hadist Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari
ilmu, antara lain: “Menuntut Ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”(HR. Ibnu
Abdil bar dari Anas). Dengan demikian,
al-quran dan hadis kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan
oleh umat Islam dalam tataran yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber
pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan
ilmu-ilmu. Peran itu adalah: Pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum
muslimin terdapat dalam al-quran. Dan sejauh pemahaman terhadap al-quran,
terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang
memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi
juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan
paradigma ilmu. Kedua, al-quran dan hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi
pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu,
pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan
tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan
al-quran dan hadis merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam.
Singkatnya, al-quran dan hadis menciptakan atmosfir khas yang mendorong
aktivifas intelektual.[1]
Konsep ilmu sebagai
suatu rangkaian dari perkiraan kebenaran, di mana kebenaran ini jarang sekali,
bahkan mungkin takkan pernah dapat di capai, tidaklah memuaskan bagi mereka
yang memandang ilmu sebagai sesuatu yang absolut dan mereka yang tidak bisa
menghargai bahwa apa yang mampu dilakukan oleh ilmu hanyalah memberikan kita
pengertian yang lebih dalam.[2]
Kalau kita lihat dari
perjalanan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa semula
adalah muncul di Yunani pada abad keenam sebelum masehi. Ilmu pengetahuan yang
banyak berkaitan dengan dunia materi pada waktu itu masih bersatu dengan dunia filsafat
yang banyak memusatkan perhatiannya pada dunia metafisika (dunia di balik
materi). Ilmu dan filsafat masih berada dalam satu tangan. Phytagoras,
Aristoteles, Ptolemy, Galen, Hyppocrates misalnya, mereka adalah disamping
seorang filosof juga seorang ilmuwan.
Sedangkan pada masa
kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pernerintahan Dinasti Umayyah dan
Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan
ini membawa, Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama
wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan
peradaban (Dark Age).
Ketika itu, ilmu
pengetahuan dan filsafat Yunani di ambil alih oleh para ilmuwan Muslim melalui
penerjemahan karya-karya klasik Yunani secara besar-besaran ke dalam Bahasa
Arab dan Persia di “Bait al-Hikmah” (Rumah Ilmu Pengetahuan) Bagdad pada abad
ke-VIII hingga abad ke-XIII Masehi, seperti : Abu Yahya al-Batriq berhasil
menterjemahkan ilmu kedokteran dan filsafat Yunani karya besar Aristoteles dan
Hyppocrates. Hunain Ibn Ishaq berhasil menterjemahkan buku : “Timacus” karya
Plato, buku “Prognotik” karya Hyppocrates, dan buku “Aphorisme” karya penting
dari Galen. Ghasta Ibn Luka (Luke) al-Ba’labaki berhasil menterjemahkan ilmu
kedokteran dan matematika hasil karya dari : Diophantus, Theodosius, Autolycus,
Hypsicles, Aristarchus dan karya Heron. Dan juga Tsabit Ibn Qurra al-Harrani
(826-900) berhasil menterjemahkan ilmu-ilmu kedokteran dan matematika Yunani
karya besar dari : Apoloonius, Archimedes, Euclid, Theodosius, Ptolemy, Galen
dan Eutocius. Selain itu, masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan
dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn
Sina, ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al-Hasil wa al-Mahsul
yang terdiri dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa
(Penyembuhan), al-Qanun fi al-Tibb (KaidahKaidah dalam Kedokteran), Al-Insaf
(Pertimbangan), al-Najat (Penyelamatan), dan Lisan al- Arab (Bahasa Arab). Dan
masih banyak karya besar lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu dalam
makalah yang sederhana ini.
Pada masa periode Islam
ini, kematerian ilmu pengetahuan yang semula hanya bersatu dengan dunia
filsafat, akhirnya masuk pula kesatuan agama di dalamnya. Hal ini dapat dilihat
pada para tokoh muslim seperti: Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Biruni,
al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi dan yang lainnya, mereka adalah di samping
sebagai seorang filosuf, ilmuwan juga seorang agamawan (teolog maupun ahli dalam bidang hukum islam). Sementara itu,
perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya adalah terjadinya kilas balik
transformasi Ilmu dari Timur (Islam) ke dunia Barat (Eropa). Hal itu terjadi
berkat kerja keras orang-orang Eropa yang belajar di Universitas-Universitas Andalusia,
Cordova dan Toledo (Spanyol Islam), seperti : Michael Scot, Robert Chester,
Adelard Barth, Gerard dan Cremona dan yang lainnya. Terjadinya kerja sama Islam
– Kristen di Sicilia yang pernah dikuasai Islam tahun 831 hingga tahun 1091,
dimana Ibu Kota Sicilia pernah dijadikan tempat penterjemahan buku-buku karya
ulama Muslim ke dalam bahasa Latin, sehingga akhirnya melahirkan renaisans di
Barat. Berawal dari sinilah, ilmu pengetahuan dan filsafat yang semula telah
dikuasai oleh dunia Islam dibawa kembali ke dunia Barat (Eropa) dan sebagai
akibatnya, Eropa keluar dari masa kegelapan dan memasuki masa renaisans dan
selanjutnya perkembangan ilmu pengetahuan memasuki abad modern dengan kemajuan
teknologinya yang cepat dan spektakuler sampai saat ini.[3]
Ilmuwan-ilmuwan muslim
dan penemuan-penemuannya. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa pada zaman
keemasannya, islam mempunyai peran yang begitu penting terhadap kemajuan ilmu
pengetahuan, saat itu lahir para ilmuwan muslim yang memberikan kontribusi yang
sangat besar bagi peradaban saat itu. Di bawah ini penulis akan menyajikan
beberapa tokoh ilmuwan muslim dan penemuannya masing-masing, diantaranya yaitu
:
1. Jabir ibn Hayyan
1. Jabir ibn Hayyan
Beliau dilahirkan di Thus, beliau sering
dikenal sebagai bapak kimia, beliau adalah perintis jalan bagi orang-orang yang
berusaha mengubah logam-logam kasar seperti besi dan tembaga menjadi
logam-logam mulia seperti emas dan perak. Beliau telah mengadakan penyempurnaan
dalam metode kerja kimiawi.
2. Al-Kindi
Beliau biasa dikenal
dengan filosof muslim yang pertama, nama beliau adalah Abu Yusuf al-Kindi,
beliau di samping sebagai seoraang pemikir atau filosof, beliau juga seorang
ilmuwan muslim yang mampu mrnghasilkan karya dan penemuan-penemuan ilmiah dalam
perkembangan ilmu di seluruh dunia, salah satunya adalah jasa beliau sebagai
pendiri ilmu psikofisik, yaitu ilmu yang memberikan perhatian pada hubungan
kuantitatif antara kejadian-kejadian psikologis dengan persitiwa-peristiwa
jasmani. Dalam hal ini pemikiran beliau terkait dengan psikofisik adalah bahwa
untuk menyembuhkan pasien, tidak hanya butuh menentukan kualitas bahan campuran
obat, melainkan dibutuhkan pula kemanjuran dan dosisnya. Sehingga dari sinilah
dibutuhkan ilmu posology (cabang ilmu pengobatan yang berkenaan dengan dosis
penggunaan obat).
3.Al-Khawarizmi
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi, beliau adalah
seorang ilmuwan muslim perintis ilmu pasti dan beliau adalah peletak ilmu
al-jabar, tapi tidak hanya itu beliau juga yang meletakkan dasar-dasar penting
ilmu astronomi, ilmu geografi, dan ilmu perpetaan.
4. Abu al-Zahrawi
Beliau lahir di kota al-Zahra dan beliau wafat pada 1013 M, beliau adalah
seorang muslim yang taat dan beliau adalah salah satu tabib muslim yang
terbesar, beliau adalah penemu teknik penyembuhan patah tulang dengan gips.
5. Ibnu Haitham
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan ibn al-Haitham, beliau dilahirkan
di kota Bashrah tahun 965 dan meninggal di Kairo tahun 1093. Beliau adalah
seorang Ilmuwan muslim penemu teknik fotografi. Penemuan beliau yang menjadi
dasar teknik alat fotografi adalah teorinya tentang bentuk lengkung yang
ditempuh cahaya ketika memancar di udara, dari teori itu beliau menetapkan
bahwa kita melihat cahaya bulan dan matahari sebelum benda-bendanya betul-betul
kelihatan di cakrawala. Teori inilah yang kemudian menjadi dasar-dasar
pengembangan teknik alat-alat fotografi dewasa ini.
6. Ibnu Sina
Nama lengkap beliau
adalah Abu Ali al-Husain ibn Abdullah, beliau dilahirkan pada tahun 980 M di
negeri Ifsyia Karmitan dan meninggal dunia pada tahun 1037. Beliau adalah
seorang ilmuwan, ulama, dokter, cendekiawan dan filosof. Nama beliau ini tak
hanya dikenal di kalangan Islam saja, melainkan menjulang ke seluruh dunia,
belau tercatat sebagai orang yang banyak memberikan sumbangan dan pengaruh bagi
kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran dengan karya besarnya
yang menjadi buku yang sangat legendaris. 7.Al-Ghazali
Beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, beliau dilahirkan di Naisabur, beliau adalah seorang tokoh besar muslim yang terkenal sebagai seorang ulama’, filosof, ahli teologi dan ahli tasawwuf. Sebagai seorang teolog beliau dikenal sebagai pilar utama aliran Asy’ariyah, dan sebagai teolog dan filosof.
Beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, beliau dilahirkan di Naisabur, beliau adalah seorang tokoh besar muslim yang terkenal sebagai seorang ulama’, filosof, ahli teologi dan ahli tasawwuf. Sebagai seorang teolog beliau dikenal sebagai pilar utama aliran Asy’ariyah, dan sebagai teolog dan filosof.
7. Ibnu Rusyd
Beliau adalah Abu
al-Walid Muhammad ibn Rusyd, beliau lahir di kota Kordova Spanyol pada tahun
1128. Selain beliau sebagai filosof, beliau adalah tokoh ilmuwan cendekiawan
muslim terkemuka pada saat itu. Beliau memberikan sumbangan yang sangat penting
bagi dunia kedokteran, filsafat, logika, musik dan hukum. Dalam bidang
kedokteran, beliau berhasil mengarang kitab yang merupakan ensiklopedi
kedokteran yang paling lengkap pada zamannya, yaitu kitab al-kulliyat fi
al-tibb. di samping itu juga, beliau juga berhasil dalam penelitian mengenai jaringan
pembuluh darah tubuh manusia. Sedangkan di bidang astronomi, beliau berhasil
menulis sebuah risalah tentang iklim yang berjudul kitab fi harakat al falaq.
8. Al-Razi
Beliau adalah Abu Bakar
Muhammad ibn Zakariyah al-Razi, Beliau dikenal sebagai Socrates Muslim di
bidang filsafat dan Hippocrates muslim di bidang kedokteran.
Kesempatan seperti yang
dimiliki oleh tokoh-tokoh itu mungkin juga pernah menyinggahi kebanyakan dari
kita, tetapi sering tidak kita sadari sehingga berlalu begitu saja dan tidak kembali
lagi. Karena itulah mungkin ada manfaatnya bila kita menyimak ciri-ciri
keilmuwan dan pendekatan penalaran yang bersifat filosofis yang dicontohkan
oleh para ilmuwan sepanjang masa, sebagaimana sudah diperlihatkan oleh
tokoh-tokoh yang sudah kita bahas sejauh ini.[4]
B. Pengertian Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.Pengertian
dari segi terminologi, The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa:
Epistemologi
menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan
metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang
dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia
diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada
pertangungjawaban ilmiah. Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi
penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya.
Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Oleh
karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang
bermuatan spiritualitas dan moralitas.[5]
C. Macam – macam Epistemologi
1) Epistemologi Bayani
Dalam epistemologi
Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas
teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh
akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
Oleh karena itu, secara
langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung
mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani
berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan
penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas
menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks.
Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan
kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode
bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Dengan demikian,
epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar
fiqhi), mutakallimun (Theolog) dan ushulliyun (Pakar ushul
al-fiqhi). Di mana mereka menggunkan bayani untuk:
a. Memahami atau
menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung atau
dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk
mengeluarkan makna dzahir dari lafadz yang dzahir pula.
b. Istinbat (Pengkajian) hukum-hukum dari al-nushus al-diniyah (al-Qur'an dan
Hadis).
Dalam bahasa filsafat
yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi
berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas
penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang
terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara
makna dan lafadz.
2) Epistemologi Burhani
Burhani merupakan
bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut
ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari
kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.
Al-Jabiri mendekatinya
melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi berpikir yang
khas, bukan menurut terminologi mantiqi dan juga tidak dalam pengertian
umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abad-abad
pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi
epistemologi bayani dan `irfani.
Epistemologi burhani
menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi,
eksperimentasi, dan konseptualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah
'aqliyah).
Jadi epistemologi burhani
adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah
akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan
berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk
mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tawbih).
Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh
aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah dan ulama-ulama moderat.[6]
Dalam filsafat,baik
filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang seringkali digunakan adalah
rasionalisme yaitu aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar
kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris.
Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 –1677) dan
Gottried Leibniz (1646 –1716). [7][26] Sementara dalam ilmu
tafsir istilah yang sering digunakan pada makna burhani adalah tafsir bi
al-ra’yi.
Jika melihat pernyataan
al-Qur'an, maka akan dijumpai sekian
banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya dalam
menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang
hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun,
dan lain-lain. lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan
dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.
3) Epistemologi Irfani
Irfani merupakan bahasa
Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف memiliki dua makna asli,
yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan
tenang. Namun secara harfiyah al-‘irfan
adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan
demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.
Secara terminologi,
irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran
hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadhah.
Dapat dikatakan, meski
pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan
kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan
kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif
dan peran akal bersifat partisipatif.
Implikasi dari
pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri
agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan
mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang
lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki
substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Dalam filsafat, irfani
lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh
pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas
intuisi antara lain; Zauqi (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu
huduri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu
tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson
menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi,
tetapi bersifat personal.
Dalam surat pertama
yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua cara
mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus
dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa
alat.
Cara yang kedua ini
dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh
Nabi Haidir:
فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا
وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu
mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami
berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya
ilmu dari sisi Kami”.
Pengetahuan intuisi ada
yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang
langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga
ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan
gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat
ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi
Ibrahim as.
BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN
A.
Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di
muka bumi ini, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada
ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah
sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang
menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi
masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau kita lihat dari
sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan
munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang
mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” (Q.S al alaq : 1). Perintah
ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat
menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna
seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu,
dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama, itu
menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik,
dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
B.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.
Dari segi terminologi, The Liang Gie dalam bukunya
Pengantar Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa:
“Epistemologi adalah teori pengetahuan yang
membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami,
batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran”
C.
Macam – macam Epistemologi
1.
Epistemologi Bayani
Dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang
menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak
langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
2.
Epistemologi Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang
memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah
melalui penjelasan.
3.
Epistemologi Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang
berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara harfiyah al-‘irfan adalah
mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan
lebih khusus dari pada al-‘ilm.
BAB III
PENUTUP
D. KESIMPULAN
i.
Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di muka bumi ini, Islam sudah
memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah
diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup
dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang menawarkan cahaya
penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang
berilmu dan beradab.
Kalau kita lihat dari sejarahnya, pandangan
Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu
sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan
kepadanya adalah “membaca” (Q.S al alaq : 1). Perintah ini tidak hanya sekali
diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat menerima wahyu
tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti
menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan
membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama, itu menghendaki
umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti
hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.
ii.
Pengertian Epistemologi
Epistemologi
adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan.
Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.
Dari segi
terminologi, The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsagfat Ilmu
mendefenisikan bahwa:
“Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi
pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan
landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran”
iii.
Macam – macam Epistemologi
a.
Epistemologi Bayani
Dalam
epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan
pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan
dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
b.
Epistemologi Burhani
Burhani
merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau
menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang
memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah
melalui penjelasan.
c.
Epistemologi Irfani
Irfani
merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang
berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang. Namun secara harfiyah al-‘irfan adalah
mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan
lebih khusus dari pada al-‘ilm.
DAFTAR
PUSTAKA
Suriasumantri
s,Jujun. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta : Yayasan Obor, 2009
Semiawan,
Coany. Dimensi kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000
http://referensiagama.blogspot.com/2011/01/islam-dan-pengembangan-ilmu-pengetahuan.sabtu, 26 mei 2012.
http://www.scribd.com/doc/3972679/ModelModel-Epistemologi-Islam, sabtu,
26 mei 2012.
[1]http://referensiagama.blogspot.com
Sabtu, 26 Mei 2012
[2]Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam perspektif. (Jakarta :
Yayasan Obor, 2009)hal. 96
[3]http://referensiagama.blogspot.comSabtu,
26 Mei 2012
[4]Conny R. Semiawan. Dimensi kreatif dalam filsafat ilmu.(Bandung
: Remaja Rosdakarya, 2000)hal 32.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar