Minggu, 16 Juni 2013

ISLAM DAN PENGEMBANGAN ILMU PENGETAHUAN



BAB II
PEMBAHASAN

A.    Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di muka bumi ini, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.

Kalau kita lihat dari sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” (Q.S al alaq : 1). Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama, itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan. Selanjutnya, dalam surat al-Zumar ayat 9 juga dinyatakan:
Artinya : ……..Katakanlah: "Adakah sama orang-orang yang mengetahui dengan orang-orang yang tidak mengetahui?" Sesungguhnya orang yang berakallah yang dapat menerima pelajaran ( QS  Az Zumar : 9 ). Di samping kedua ayat tersebut di atas, ada juga (QS Al mujadalah : 11). Ayat- ayat di atas mengisyaratkan betapa pentingnya menuntut ilmu dan mengembangkannya bahkan merupakan sebuah kewajiban, karena dengan ilmu pengetahuanlah manusia dapat mencapai kemuliaan dengan mendapat derajat yang tinggi dan luhur.
Selain ayat-ayat tersebut di atas, ada juga hadist Rasulullah yang menekankan wajibnya mencari ilmu, antara lain: “Menuntut Ilmu itu wajib atas tiap-tiap muslim”(HR. Ibnu Abdil bar  dari Anas). Dengan demikian, al-quran dan hadis kemudian dijadikan sebagai sumber ilmu yang dikembangkan oleh umat Islam dalam tataran yang seluas-luasnya. Lebih lagi, kedua sumber pokok Islam ini memainkan peran ganda dalam penciptaan dan pengembangan ilmu-ilmu. Peran itu adalah: Pertama, prinsip-prinsip semua ilmu dipandang kaum muslimin terdapat dalam al-quran. Dan sejauh pemahaman terhadap al-quran, terdapat pula penafsiran yang bersifat esoteris terhadap kitab suci ini, yang memungkinkan tidak hanya pengungkapan misteri-misteri yang dikandungnya tetapi juga pencarian makna secara lebih mendalam, yang berguna untuk pembangunan paradigma ilmu. Kedua, al-quran dan hadis menciptakan iklim yang kondusif bagi pengembangan ilmu dengan menekankan kebajikan dan keutamaan menuntut ilmu, pencarian ilmu dalam segi apa pun pada akhirnya akan bermuara pada penegasan tauhid. Karena itu, seluruh metafisika dan kosmologi yang lahir dari kandungan al-quran dan hadis merupakan dasar pembangunan dan pengembangan ilmu Islam. Singkatnya, al-quran dan hadis menciptakan atmosfir khas yang mendorong aktivifas intelektual.[1]
Konsep ilmu sebagai suatu rangkaian dari perkiraan kebenaran, di mana kebenaran ini jarang sekali, bahkan mungkin takkan pernah dapat di capai, tidaklah memuaskan bagi mereka yang memandang ilmu sebagai sesuatu yang absolut dan mereka yang tidak bisa menghargai bahwa apa yang mampu dilakukan oleh ilmu hanyalah memberikan kita pengertian yang lebih dalam.[2]
Kalau kita lihat dari perjalanan sejarah perkembangan ilmu pengetahuan dari masa ke masa semula adalah muncul di Yunani pada abad keenam sebelum masehi. Ilmu pengetahuan yang banyak berkaitan dengan dunia materi pada waktu itu masih bersatu dengan dunia filsafat yang banyak memusatkan perhatiannya pada dunia metafisika (dunia di balik materi). Ilmu dan filsafat masih berada dalam satu tangan. Phytagoras, Aristoteles, Ptolemy, Galen, Hyppocrates misalnya, mereka adalah disamping seorang filosof juga seorang ilmuwan.
Sedangkan pada masa kejayaan kekuasaan Islam, khususnya pada masa pernerintahan Dinasti Umayyah dan Dinasti Abbasiyah, ilmu pengetahuan berkembang sangat maju dan pesat. Kemajuan ini membawa, Islam pada masa keemasannya, di mana pada saat yang sama wilayah-wilayah yang jauh di luar kekuasaan Islam masih berada pada masa kegelapan peradaban (Dark Age).
Ketika itu, ilmu pengetahuan dan filsafat Yunani di ambil alih oleh para ilmuwan Muslim melalui penerjemahan karya-karya klasik Yunani secara besar-besaran ke dalam Bahasa Arab dan Persia di “Bait al-Hikmah” (Rumah Ilmu Pengetahuan) Bagdad pada abad ke-VIII hingga abad ke-XIII Masehi, seperti : Abu Yahya al-Batriq berhasil menterjemahkan ilmu kedokteran dan filsafat Yunani karya besar Aristoteles dan Hyppocrates. Hunain Ibn Ishaq berhasil menterjemahkan buku : “Timacus” karya Plato, buku “Prognotik” karya Hyppocrates, dan buku “Aphorisme” karya penting dari Galen. Ghasta Ibn Luka (Luke) al-Ba’labaki berhasil menterjemahkan ilmu kedokteran dan matematika hasil karya dari : Diophantus, Theodosius, Autolycus, Hypsicles, Aristarchus dan karya Heron. Dan juga Tsabit Ibn Qurra al-Harrani (826-900) berhasil menterjemahkan ilmu-ilmu kedokteran dan matematika Yunani karya besar dari : Apoloonius, Archimedes, Euclid, Theodosius, Ptolemy, Galen dan Eutocius. Selain itu, masih banyak lagi pemikir Muslim yang sangat berperan dalam mengembangkan ilmu pengetahuan. Salah seorang diantaranya adalah Ibn Sina, ketika baru berusia 21 tahun, beliau telah menulis al-Hasil wa al-Mahsul yang terdiri dari 20 jilid. Selain itu, beliau juga telah menulis al-Shifa (Penyembuhan), al-Qanun fi al-Tibb (KaidahKaidah dalam Kedokteran), Al-Insaf (Pertimbangan), al-Najat (Penyelamatan), dan Lisan al- Arab (Bahasa Arab). Dan masih banyak karya besar lainnya yang tak dapat disebutkan satu persatu dalam makalah yang sederhana ini.
Pada masa periode Islam ini, kematerian ilmu pengetahuan yang semula hanya bersatu dengan dunia filsafat, akhirnya masuk pula kesatuan agama di dalamnya. Hal ini dapat dilihat pada para tokoh muslim seperti: Ibn Rusyd, Ibn Sina, al-Ghazali, al-Biruni, al-Kindi, al-Farabi, al-Khawarizmi dan yang lainnya, mereka adalah di samping sebagai seorang filosuf, ilmuwan juga seorang agamawan (teolog maupun ahli  dalam bidang hukum islam). Sementara itu, perkembangan ilmu pengetahuan selanjutnya adalah terjadinya kilas balik transformasi Ilmu dari Timur (Islam) ke dunia Barat (Eropa). Hal itu terjadi berkat kerja keras orang-orang Eropa yang belajar di Universitas-Universitas Andalusia, Cordova dan Toledo (Spanyol Islam), seperti : Michael Scot, Robert Chester, Adelard Barth, Gerard dan Cremona dan yang lainnya. Terjadinya kerja sama Islam – Kristen di Sicilia yang pernah dikuasai Islam tahun 831 hingga tahun 1091, dimana Ibu Kota Sicilia pernah dijadikan tempat penterjemahan buku-buku karya ulama Muslim ke dalam bahasa Latin, sehingga akhirnya melahirkan renaisans di Barat. Berawal dari sinilah, ilmu pengetahuan dan filsafat yang semula telah dikuasai oleh dunia Islam dibawa kembali ke dunia Barat (Eropa) dan sebagai akibatnya, Eropa keluar dari masa kegelapan dan memasuki masa renaisans dan selanjutnya perkembangan ilmu pengetahuan memasuki abad modern dengan kemajuan teknologinya yang cepat dan spektakuler sampai saat ini.[3]
Ilmuwan-ilmuwan muslim dan penemuan-penemuannya. Tidak dapat diragukan lagi, bahwa pada zaman keemasannya, islam mempunyai peran yang begitu penting terhadap kemajuan ilmu pengetahuan, saat itu lahir para ilmuwan muslim yang memberikan kontribusi yang sangat besar bagi peradaban saat itu. Di bawah ini penulis akan menyajikan beberapa tokoh ilmuwan muslim dan penemuannya masing-masing, diantaranya yaitu :
1. Jabir ibn Hayyan
 Beliau dilahirkan di Thus, beliau sering dikenal sebagai bapak kimia, beliau adalah perintis jalan bagi orang-orang yang berusaha mengubah logam-logam kasar seperti besi dan tembaga menjadi logam-logam mulia seperti emas dan perak. Beliau telah mengadakan penyempurnaan dalam metode kerja kimiawi.
2. Al-Kindi
Beliau biasa dikenal dengan filosof muslim yang pertama, nama beliau adalah Abu Yusuf al-Kindi, beliau di samping sebagai seoraang pemikir atau filosof, beliau juga seorang ilmuwan muslim yang mampu mrnghasilkan karya dan penemuan-penemuan ilmiah dalam perkembangan ilmu di seluruh dunia, salah satunya adalah jasa beliau sebagai pendiri ilmu psikofisik, yaitu ilmu yang memberikan perhatian pada hubungan kuantitatif antara kejadian-kejadian psikologis dengan persitiwa-peristiwa jasmani. Dalam hal ini pemikiran beliau terkait dengan psikofisik adalah bahwa untuk menyembuhkan pasien, tidak hanya butuh menentukan kualitas bahan campuran obat, melainkan dibutuhkan pula kemanjuran dan dosisnya. Sehingga dari sinilah dibutuhkan ilmu posology (cabang ilmu pengobatan yang berkenaan dengan dosis penggunaan obat).
3.Al-Khawarizmi
Nama lengkapnya adalah Muhammad ibn Musa Al-Khawarizmi, beliau adalah seorang ilmuwan muslim perintis ilmu pasti dan beliau adalah peletak ilmu al-jabar, tapi tidak hanya itu beliau juga yang meletakkan dasar-dasar penting ilmu astronomi, ilmu geografi, dan ilmu perpetaan.
4. Abu al-Zahrawi
Beliau lahir di kota al-Zahra dan beliau wafat pada 1013 M, beliau adalah seorang muslim yang taat dan beliau adalah salah satu tabib muslim yang terbesar, beliau adalah penemu teknik penyembuhan patah tulang dengan gips.
5. Ibnu Haitham
Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan ibn al-Haitham, beliau dilahirkan di kota Bashrah tahun 965 dan meninggal di Kairo tahun 1093. Beliau adalah seorang Ilmuwan muslim penemu teknik fotografi. Penemuan beliau yang menjadi dasar teknik alat fotografi adalah teorinya tentang bentuk lengkung yang ditempuh cahaya ketika memancar di udara, dari teori itu beliau menetapkan bahwa kita melihat cahaya bulan dan matahari sebelum benda-bendanya betul-betul kelihatan di cakrawala. Teori inilah yang kemudian menjadi dasar-dasar pengembangan teknik alat-alat fotografi dewasa ini.
6. Ibnu Sina
Nama lengkap beliau adalah Abu Ali al-Husain ibn Abdullah, beliau dilahirkan pada tahun 980 M di negeri Ifsyia Karmitan dan meninggal dunia pada tahun 1037. Beliau adalah seorang ilmuwan, ulama, dokter, cendekiawan dan filosof. Nama beliau ini tak hanya dikenal di kalangan Islam saja, melainkan menjulang ke seluruh dunia, belau tercatat sebagai orang yang banyak memberikan sumbangan dan pengaruh bagi kemajuan ilmu pengetahuan khususnya di bidang kedokteran dengan karya besarnya yang menjadi buku yang sangat legendaris. 7.Al-Ghazali
Beliau adalah Abu Hamid Muhammad al-Ghazali, beliau dilahirkan di Naisabur, beliau adalah seorang tokoh besar muslim yang terkenal sebagai seorang ulama’, filosof, ahli teologi dan ahli tasawwuf. Sebagai seorang teolog beliau dikenal sebagai pilar utama aliran Asy’ariyah, dan sebagai teolog dan filosof.
7. Ibnu Rusyd
Beliau adalah Abu al-Walid Muhammad ibn Rusyd, beliau lahir di kota Kordova Spanyol pada tahun 1128. Selain beliau sebagai filosof, beliau adalah tokoh ilmuwan cendekiawan muslim terkemuka pada saat itu. Beliau memberikan sumbangan yang sangat penting bagi dunia kedokteran, filsafat, logika, musik dan hukum. Dalam bidang kedokteran, beliau berhasil mengarang kitab yang merupakan ensiklopedi kedokteran yang paling lengkap pada zamannya, yaitu kitab al-kulliyat fi al-tibb. di samping itu juga, beliau juga berhasil dalam penelitian mengenai jaringan pembuluh darah tubuh manusia. Sedangkan di bidang astronomi, beliau berhasil menulis sebuah risalah tentang iklim yang berjudul kitab fi harakat al falaq.
8. Al-Razi
Beliau adalah Abu Bakar Muhammad ibn Zakariyah al-Razi, Beliau dikenal sebagai Socrates Muslim di bidang filsafat dan Hippocrates muslim di bidang kedokteran.
Kesempatan seperti yang dimiliki oleh tokoh-tokoh itu mungkin juga pernah menyinggahi kebanyakan dari kita, tetapi sering tidak kita sadari sehingga berlalu begitu saja dan tidak kembali lagi. Karena itulah mungkin ada manfaatnya bila kita menyimak ciri-ciri keilmuwan dan pendekatan penalaran yang bersifat filosofis yang dicontohkan oleh para ilmuwan sepanjang masa, sebagaimana sudah diperlihatkan oleh tokoh-tokoh yang sudah kita bahas sejauh ini.[4]

B.     Pengertian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan.Pengertian dari segi terminologi, The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa:
Epistemologi menjangkau permasalahan-permasalahan yang membentang seluas jangkauan metafisika, selain itu ia merupakan hal yang sangat abstrak dan jarang dijadikan permasalahan ilmiah di dalam kehidupan sehari-hari. Namun ia diperlukan sebagai upaya untuk mendasarkan pembicaraan sehari-hari pada pertangungjawaban ilmiah. Dalam dunia pemikiran, epistemologi menempati posisi penting, sebab ia menentukan corak pemikiran dan pernyataan kebenaran yang dihasilkannya. Bangunan dasar epistemologi berbeda dari satu peradaban dengan yang lain. Oleh karena itu perlu pengembangan empirisme dalam satu keutuhan dimensi yang bermuatan spiritualitas dan moralitas.[5]


C.    Macam – macam  Epistemologi
1)      Epistemologi Bayani
Dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
Oleh karena itu, secara langsung bayani adalah memahami teks sebagai pengetahuan jadi dan langsung mengaplikasikan tanpa perlu pemikiran. Namun secara tidak langsung bayani berarti memahami teks sebagai pengetahuan mentah sehingga perlu tafsir dan penalaran. Meski demikian, hal ini tidak berarti akal atau rasio bisa bebas menentukan makna dan maksudnya, tetapi tetap harus bersandar pada teks. Sehingga dalam bayani, rasio dianggap tidak mampu memberikan pengetahuan kecuali disandarkan pada teks. Dalam perspektif keagamaan, sasaran bidik metode bayani adalah aspek eksoterik (syariat).
Dengan demikian, epistemologi bayani pada dasarnya telah digunakan oleh para fuqaha' (pakar fiqhi), mutakallimun (Theolog) dan ushulliyun (Pakar ushul al-fiqhi). Di mana mereka menggunkan bayani untuk:
a.       Memahami atau menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung atau dikehendaki dalam lafaz, dengan kata lain pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna dzahir dari lafadz yang dzahir pula.
b.      Istinbat (Pengkajian) hukum-hukum dari al-nushus al-diniyah (al-Qur'an dan Hadis).
Dalam bahasa filsafat yang disederhanakan, pendekatan bayani dapat diartikan sebagai model metodologi berpikir yang didasarkan atas teks. Dalam hal ini teks sucilah yang memilki otoritas penuh menentukan arah kebenaran. Fungsi akal hanya sebagai pengawal makna yang terkandung di dalamnya yang dapat diketehui melalui pencermatan hubungan antara makna dan lafadz.
2)      Epistemologi Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.
Al-Jabiri mendekatinya melalui sistem epistemologi yang ia bangun dengan metodologi berpikir yang khas, bukan menurut terminologi mantiqi dan juga tidak dalam pengertian umum, dan berbeda dari yang lain. Epistemologi tersebut pada abad-abad pertengahan menempati wilayah pergumulan kebudayaan Arab Islam yang mendampingi epistemologi bayani dan `irfani.
Epistemologi burhani menekankan visinya pada potensi bawaan manusia secara naluriyah, inderawi, eksperimentasi, dan konseptualisasi (al-hiss, al tajribah wa muhakamah 'aqliyah).
Jadi epistemologi burhani adalah epistemologi yang berpandangan bahwa sumber ilmu pengetahuan adalah akal. Akal menurut epistemologi ini mempunyai kemampuan untuk menemukan berbagai pengetahuan, bahkan dalam bidang agama sekalipun akal mampu untuk mengetahuinya, seperti masalah baik dan buruk (tansin dan tawbih). Epistemologi burhani ini dalam bidang keagamaan banyak dipakai oleh aliran berpaham rasionalis seperti Mu’tazilah dan ulama-ulama moderat.[6]
Dalam filsafat,baik filsafat Islam maupun filsafat Barat istilah yang seringkali digunakan adalah rasionalisme yaitu aliran ini menyatakan bahwa akal (reason) merupakan dasar kepastian dan kebenaran pengetahuan, walaupun belum didukung oleh fakta empiris. Tokohnya adalah Rene Descartes (1596–1650, Baruch Spinoza (1632 –1677) dan Gottried Leibniz (1646 –1716). [7][26] Sementara dalam ilmu tafsir istilah yang sering digunakan pada makna burhani adalah tafsir bi al-ra’yi.
Jika melihat pernyataan al-Qur'an, maka akan  dijumpai sekian banyak ayat yang memerintahkan manusia untuk menggunakan nalarnya  dalam menimbang ide yang masuk ke dalam benaknya. Banyak ayat yang berbicara tentang hal ini dengan berbagai redaksi seperti ta'qilun, tatafakkarun, tadabbarun, dan lain-lain.  lni membuktikan bahwa akal pun mampu meraih pengetahuan dan kebenaran selama ia digunakan dalam wilayah kerjanya.
3)      Epistemologi Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف  memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.  Namun secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.
Secara terminologi, irfani adalah pengungkapan atas pengetahuan yang diperoleh lewat penyinaran hakikat oleh Tuhan kepada hambanya (al-kasyf) setelah melalui riyadhah.
Dapat dikatakan, meski pengetahuan irfani bersifat subyekyif, namun semua orang dapat merasakan kebenarannya. Artinya, setiap orang dapat melakukan dengan tingkatan dan kadarnya sendiri-sendiri, maka validitas kebenarannya bersifat intersubyektif dan peran akal bersifat partisipatif.
Implikasi dari pengetahuan 'irfani dalam konteks pemikiran keislaman, adalah menghampiri agama-agama pada tataran substantif dan esensi spiritualitasnya, dan mengembangkannya dengan penuh kesadaran akan adanya pengalaman keagamaan orang lain (the otherness) yang berbeda aksidensi dan ekspresinya, namun memiliki substansi dan esensi yang kurang lebih sama.
Dalam filsafat, irfani lebih dikenal dengan istilah intuisi. Dengan intuisi, manusia memperoleh pengetahuan secara tiba-tiba tanpa melalui proses penalaran tertentu. Ciri khas intuisi antara lain; Zauqi (rasa) yaitu melalui pengalaman langsung, ilmu huduri yaitu kehadiran objek dalam diri subjek, dan eksistensial yaitu tanpa melalui kategorisasi akan tetapi mengenalnya secara intim. Henry Bergson menganggap intuisi merupakan hasil dari evolusi pemikiran yang tertinggi, tetapi bersifat personal.
Dalam surat pertama yang diturunkan kepada Rasulullah saw., dijelaskan bahwa ada dua cara mendapatkan pengetahuan. pertama melalui "pena" (tulisan) yang harus dibaca oleh manusia dan yang kedua melalui pengajaran secara langsung tanpa alat.
Cara yang kedua ini dikenal dengan istilah 'llm Ladunny seperti ilmu yang diperoleh oleh Nabi Haidir:
فوجدا عبدا من عبادنا آتيناه رحمة من عندنا وعلمناه من لدنا علما
Artinya: “Lalu mereka bertemu dengan seorang hamba di antara hamba-hamba kami, yang Telah kami berikan kepadanya rahmat dari sisi kami, dan yang Telah kami ajarkan kepadanya ilmu dari sisi Kami”.
Pengetahuan intuisi ada yang berdasar pengalaman indrawi seperti aroma atau warna sesuatu, ada yang langsung diraih melalui nalar dan bersifat aksioma seperti A adalah A, ada juga ide cemerlang secara tiba-tiba seperti halnya Newton ( 1642-1727 M) menemukan gaya gravitasi setelah melihat sebuah apel yang terjatuh tidak jauh dari tempat ia duduk dan ada juga berupa mimpi seperti mimpi Nabi Yusuf as. dan Nabi Ibrahim as.










BAB III
PENUTUP
KESIMPULAN

A.    Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di muka bumi ini, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau kita lihat dari sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” (Q.S al alaq : 1). Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama, itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.

B.     Pengertian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Dari segi terminologi, The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa:
“Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran”
C.    Macam – macam Epistemologi
1.      Epistemologi Bayani
Dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
2.      Epistemologi Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.
3.      Epistemologi Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف  memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.  Namun secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.







BAB III
PENUTUP
D.    KESIMPULAN

             i.            Islam dan Pengembangan Ilmu Pengetahuan
Sejak Islam lahir di muka bumi ini, Islam sudah memberikan penghargaan yang begitu besar kepada ilmu. Sebagaimana sudah diketahui, bahwa nabi Muhammad ketika diutus oleh Allah sebagai rasul, hidup dalam masyarakat yang terbelakang, kemudian Islam datang menawarkan cahaya penerang yang mengubah masyarakat Arab jahiliyah menjadi masyarakat yang berilmu dan beradab.
Kalau kita lihat dari sejarahnya, pandangan Islam tentang pentingnya ilmu itu tumbuh bersamaan dengan munculnya Islam itu sendiri. Ketika Rasulullah menerima wahyu pertama yang mula-mula diperintahkan kepadanya adalah “membaca” (Q.S al alaq : 1). Perintah ini tidak hanya sekali diucapkan Jibril tetapi berulang-ulang sampai nabi dapat menerima wahyu tersebut. Dari kata iqra’ inilah kemudian lahir aneka makna seperti menyampaikan, menelaah, mendalami, meneliti, mengetahui ciri sesuatu, dan membaca teks baik yang tertulis maupun tidak. Wahyu pertama, itu menghendaki umat Islam untuk senantiasa membaca dengan dilandasi bismi Rabbik, dalam arti hasil bacaan itu nantinya dapat bermanfaat untuk kemanusiaan.

           ii.            Pengertian Epistemologi
Epistemologi adalah cabang filsafat yang secara khusus membahas teori ilmu pengetahuan. Epistemologi berasal dari bahasa Yunani, episteme, yang berarti pengetahuan. Dari segi terminologi, The Liang Gie dalam bukunya Pengantar Filsagfat Ilmu mendefenisikan bahwa:
“Epistemologi adalah teori pengetahuan yang membahas berbagai segi pengetahuan seperti kemungkinan, asal mula sifat alami, batas-batas, asumsi dan landasan, validitas dan realibilitas sampai soal kebenaran”
         iii.            Macam – macam Epistemologi
a.       Epistemologi Bayani
Dalam epistemologi Islam, bayani adalah metode pemikiran khas Arab yang menekankan pada otoritas teks (nash), secara langsung atau tidak langsung, dan dijustifikasi oleh akal kebahasaan yang digali lewat inferensi (istidlal).
b.      Epistemologi Burhani
Burhani merupakan bahasa Arab yang secara harfiyah berarti mensucikan atau menjernihkan. Menurut ulama ushul, al-burhan adalah sesuatu yang memisahkan kebenaran dari kebatilan dan membedakan yang benar dari yang salah melalui penjelasan.
c.       Epistemologi Irfani
Irfani merupakan bahasa Arab yang terdiri dari huruf ع- ر-ف  memiliki dua makna asli, yaitu sesuatu yang berurutan yang sambung satu sama lain dan bermakna diam dan tenang.  Namun secara harfiyah al-‘irfan adalah mengetahui sesuatu dengan berfikir dan mengkaji secara dalam. Dengan demikian al-‘irfan lebih khusus dari pada al-‘ilm.







DAFTAR PUSTAKA

Suriasumantri s,Jujun. Ilmu dalam Perspektif. Jakarta : Yayasan Obor, 2009
Semiawan, Coany. Dimensi kreatif dalam Filsafat Ilmu. Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000










[2]Jujun S. Suriasumantri. Ilmu dalam perspektif. (Jakarta : Yayasan Obor, 2009)hal. 96
[4]Conny R. Semiawan. Dimensi kreatif dalam filsafat ilmu.(Bandung : Remaja Rosdakarya, 2000)hal 32.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar