BAB II
PEMBAHASAN
A. Konstruktivisme
Konstruktivisme
merupakan satu diantara faham yang menyatakan bahwa positivisme dan
postpositivisme merupakan paham yang salah dalam mengungkapkan realitas dunia.
Karena itu, perangkat berfikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan
diganti dengan paham yang bersifat konstruktif. Paradigma ini, muncul melalui
proses yang cukup lama setelah sekian generasi ilmuwan berpegang teguh pada
paradigm positivisme. Konstruktivisme muncul setelah sejumlah ilmuwan menolak
tiga prinsip dasar positifime :[1]
1.
Ilmu merupakan upaya mengungkap realitas,
2.
Hubungan antara subjek dan
objek penelitian harus dapat dijelaskan,
3.
Hasil temuan memungkinkan untuk digunakan proses generalisasi pada
waktu dan tempat yang berbeda.
Pada awal
perkembangannya, paradigma ini mengembangkan sejumlah indikator sebagai pijakan
dalam melaksanakan penelitian dan pngembangan ilmu. Beberapa indikator itu
antara lain:[2]
1.
Penggunaan metode kualitatif dalam proses pengumpulan data dan
kegiatan analisis data,
2.
Mencari relevansi indikator kualitas untuk mncari data- data
lapangan,
3.
teori- teori yang dikembangkan harus bersifat natural atau apa
adanya dalam pengamatan dan menghindarkan diri dengan kegiatan penelitian yang
telah diatur dan bersifat serta berorientasi laboratorium,
4.
Pola- pola yang diteliti dan
berisi kategori- kategori jawaban menjadi unit analisis dari variable- variable
penelitia yang kaku dan steril,
5.
Penelitian lebih bersifat
partisipatif daripada mengontrol sumber- sumber informasi, dll.
Secara
ontologis, paradigma ini menyatakan bahwa realitas bersifat sosial dan karena
itu akan menumbuhkan bangunan teori atas realitas majemuk dari masyarakatnya.
Dengan demikian, tidak ada suatu realitas yang dapat dijelaskan secara tuntas
oleh suatu ilmu pengetahuan. Realitas ada sebagai seperangkat bangunan yang
menyeluruh dan bermakna yang bersifat konfliktual dan dilektis. Karena itu,
paham ini menganut prinsip relatifitas dalam memandang suatu fenomena alam atau
sosial. Jika tujuan penemuan ilmu dalam positivisme adalah untuk membuat
generalisasi terhadap fenomena alam lainnya, maka konstruktivisme lebih
cenderung menciptakan ilmu yang diekspresikan dalam bentuk pola teori, jaringan
atau hubungan timbal balik sebagai hipotesis kerja, bersifat sementara, local
dan spesifik. Dengan pernyataan lain, bahwa realitas itu merupakan konstruksi
mental berdasarkan pengalaman sosial, bersifat lokal dan spesifik dan tergantung
pada orang yang melakukannya. Karena itu suatu realitas yang diamati seseorang
tidak bisa digeneralisasikan kepada semua orang seperti yang biasa dilakukan
kalangan positivis atau postpositivis. Sejalan dengan iu, secara filosofis
hubungan epistimologis antara pengamatan dan objek, menurut aliran bersifat
suatu kesatuan, subjektif dan merupakan hasil perpaduan interaksi diantara
keduanya. Sementara secara metodologis, paham ini secara jelas menyatakan bahwa
penelitian harus dilakukan di luar laboratorium, yaitu di alam bebas secara
sewajarnya atau natural untuk menangkap fenomena alam apa adanya dan secara
menyeluruh tanpa campur tangan dan manipulasi pengamat atau pihak penelitian.
Dengan seting natural ini, maka metode yang paling banyak digunakan adalah metode
kualitatif daripada kuantitatif.
Suatu teori
muncul berdasarkan data yang ada, bukan dibuat sebelumnya, dalam bentuk
hipotesis bagaimana dalam penelitian kuantitatif. Untuk itu pengumpulan data,
dilakukan dengan metode hermeneutik dan dialektik yang difokuskan
pada konstruksi, rekonstruksi dan elaborasi suatu proses sosial. Metode pertama
dilakukan melalui identifikasi kebenaran atau konstruksi pendapat dari orang
perorang, sedangkan metode kedua mencoba untuk membandingkan dan menyilangkan
pendapat dari orang perorang yang diperoleh melalui metode pertama untuk
memperoleh suatu konsensus kebenaran yang disepakati bersama. Dengan demikian,
hasil akhir dari suatu kebenaran merupakan perpaduan pendapat yang bersifat
reflektif, subjektif dan spesifik mengenai hal- hal tertentu.
Dengan
ditemukannya paradigma konstruktivisme ini, dapat memberikan alternatif
paradigma dalam mencari kebenaran tentang realitas sosial, sekaligus menandai
terjadinya pergeseran model rasionalitas untuk mencari dan menentukan aturan-
aturan ke model rasionalitas praktis yang menekankan peranan contoh dan
interpretasi mental. Konstruktivisme dapat melihat warna dan corak yang berbeda
dalam berbagai disiplin ilmu, khususnya disiplin ilmu- ilmu sosial yang
memerlukan intensitas interaksi antara penelitian dan objek yang dicermati,
sehingga akan berpengaruh pada nilai- nilai yang dianut, etika, akumulasi
pengetahuan, model pengetahuan dan diskusi ilmiah.
Konstruktivisme
adalah suatu filsafat pengetahuan yang mempunyai anggapan bahwa pengetahuan
adalah hasil dari konstruksi manusia itu sendiri. Manusia
mengkonstruksikan pengetahuan mereka
melalui interaksi mereka dengan struktur, kategori, objek, fenomena, pengalaman
dan lingkungan mereka. Pengetahuan dianggap benar jika pengetahuan itu dapat
berguna untuk menghadapi dan memecahkan persoalan yang tengah dihadapi
Menurut paham
konstruktivisme, pengetahuan tidak dapat di transfer begitu saja dari seseorang
kepada yang lain, tetapi harus diinterpresentasikan sendiri oleh orang
tersebut. Pengetahuan bukan sesuatu yang sudah jadi, tetapi merupkan suatu
proses yang akan berkembang terus-menerus. Proses itulah yang merupakan keaktifan
dan kesungguhan seseorang, hal tersebut sangat berperan dalam mengejar ilmu.
Asal-usul
konstruktivisme menurut Von Glasersfeld, yaitu pengertian konstruktif kognitif
muncul pada abad ini dalam tulisan Mark Baldwin yang secara luas diperdalam dan
disebarkan oleh Jean Piaget. Namun sebenarnya gagasan pokok konstruktivisme
sudah dimulai oleh Gimbatissta Vico, dia adalah epistemology dari Italia. Dia
adalah cikal bakal konstruktivisme.[3]
Pada tahun 1970
Vico dalam De Antiquissima Italorum Sapientia mengungkapkan filsafatnya, dia
berkata “Tuhan adalah pencipta alam semesta dan manusia adalah tuan dari
ciptaan.” Dia menjelaskan bahwa “mengetahui” berarti ‘mengetahui bagaimana
membuat sesuatu.’ Bagi Vico pengetahuan lebih menekankan pada struktur konsep
yang dibentuk. Lain halnya dengan para empirisme yang menyatakan bahwa
pengetahuan itu harus menunjuk kepada kenyataan luar.
B. Teori Kritis
Pertama kali istilah teori kritis dicetuskan oleh Max Horkheimer
pada tahun 30-an. Teori kritis berarti pemaknaan kembali ideal-ideal modernitas
tentang nalar dan kebebasan, dengan mengungkap deviasi dari ideal-ideal itu
dalam bentuk saintisme, kapitalisme, industri kebudayaan, dan institusi politik
borjuis.[4]Teori
kritis merupakan sebutan untuk orientasi teoritis tertentu yang bersumber dari
Hegel dan Marx, disistematisasi oleh Horkheimer dan Aristoteles, Foucault, Gadamer, Hegel, Marx, Kant, Wittgenstein di Institut Penelitian
Sosial di Frankfurt, dan dikembangkan oleh Habermas.[5]
Dalam pengertian umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat
Jerman yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih
khusus, teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang
”dilahirkan” di Frankfurt.
Teori kritis bertujuan menghilangkan berbagai
bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan. Teori ini menerapkan
metode reflektif dengan cara mengkritik secara berkelanjutan terhadap tatanan
atau institusi sosial, politik atau ekonomi yang ada dan tidak kondusif untuk
pencapaian kebebasan, keadilan, dan persamaan.
Ciri khas Teori Kritis berbeda dengan pemikiran filsafat dan sosiologi tradisional. Pada
intinya pendekatan teori ini tidak bersifat kontemplatif atau spektulatif murni. Pada titik tertentu, ia memandang dirinya sebagai pewaris ajaran Karl Marx, sebagai teori yang menjadi emansipatoris, dan tidak hanya menjelaskan, mempertimbangkan,
merefleksikan dan menata realitas sosial tetapi teori tersebut juga mengubah.
Esensi Teori Kritis pada dasarnya adalah konstruktivisme, yaitu memahami keberadaan struktur-stuktur sosial dan politik sebagai bagian atau produk dari intersubyektivitas dan pengetahuan secara
alamiah memiliki karakter politis, terkait dengan kehidupan sosial dan politik. Perkembangan sifat politis
pengetahuan ini dipengaruhi oleh tiga pemikiran yang berbeda, antara lain:
1. Immanuel Kant
Pemikiran Kant lebih kepada keterbatasan pengetahuan, yaitu bahwa manusia tidak dapat
memahami dunia secara keseluruhan melainkan hanya sebagian saja (parsial).
- Hegel dan Mark
Hegel dan Marx memiliki pemikiran bahwa teori dan pembentukan teori tidak bisa dipisahkan
dari masyarakat. Ilmuwan harus melakukan refleksi terhadap teori atau proses
pembentukan teori tersebut.
- Max Horkheimer
Max Horkheimer dilahirkan di kota Stuttgart pada tanggal 14 Februari 1895. Ia meninggal di kota Nuremberg pada tanggal 7 Juli 1973 pada usia 78 tahun. Max
Horkheimer merupakan putra dari Moriz Hokheimer yang berkebangsaan Yahudi. Ia
dididik dengan ketat dan otoriter supaya dapat meneruskan usaha perusahaan
tenun ayahnya. tapi pada akhirnya Horkheimer menginggalkan perusahaan tenun
ayahnya karena ia dilarang menikahi Rose Christine Rieckher, sekretaris
ayahnya, yang berusia sembilan tahun lebih tua. Setelah itu, ia berkenalan
dengan filsafat dan
belajar bahasa Perancis
lewat buku yang berjudul Aphorisme on The Wisdom of Life.[3]
Buku inilah yang akan memengaruhi pemikirannya yang pesimistis terhadap rasionalisme
yang mengajarkan kehendak buta manusia yang mengakibatkan tragedi manusia itu
sendiri.[6]
Horkheimer merupakan salah satu filsuf Jerman yang menjadi salah satu filsuf generasi pertama dari Mazhab
Frankfurt. Horkheimer merupakan
keturunan dari kaum Yahudi dan pandangan Horkheimer tentang Allah berpengaruh dalam perkembangan tradisi Yahudi.[7]
Horkheimer lulus pada tahun 1923 dengan disertasi tentang Immanuel Kant. Tiga tahun kemudian ia dikukuhkan sebagai guru besar di Universitas
Frankfurt dan semakin
mendalami filsafat Kant dan Hegel.[8]
Setelah Perang Dunia I,
perubahan peta politik
menjadikan Revolusi
Bolshevik sukses di Rusia,
sehingga banyak cendikiawan Jerman yang beraliran kiri bergabung dengan Sekolah
Frankfurt yang beraliran Marxisme.
Dari sinilah Horkheimer berupaya untuk menyatakan kritiknya terhadap rakyat
yang dicekam oleh kemajuan dalam kebebasan individunya.
Horkheimer diangkat sebagai direktur baru Sekolah Frankfurt pada
bulan Januari 1931, dia memulai pidato tentang filsafat
sosial sebagai
"interpretasi filosofis tentang nasib manusia sejauh manusia bukan
dipandang sebagai individu, tetap sebagai anggota (masyarakat) Jadi, obyek
filsafat sosial sekarang adalah semua kelembagaan yang bersifat material dan
spiritual dari kemanusiaan secara menyeluruh", filsafat tidak memaksa
nilai filosofis manusia dalam pengangguran, keterasingan dan penindasan yang
dilakukan oleh kelas penguasa. Dia memakai pandangan Karl Marx
dalam anggapan bahwa kejiwaan manusia, kepribadian juga hukum, kesenian,
filsafat hanya sebagai cermin
dari bidang ekonomi, dan bukan dengan vulgar memakai sumbangan Hegel
tentang kendali Roh,
namun pada dialektika antara realitas material dan
mental. Dalam pikiran yang bergerak di bidang ideologi
inilah, ideologi dipandang sangat berperan dalam ikut mengacaukan kenyataan sosial.
Dua hal yang menjadi perhatian teori kemasayarakatan Horkheimer adalah bidang
sosiolgi politik dan kebudayaan. Munculnya Sekolah Frankfurt diiringi dengan suburnya kapitalisme
monopolis di Eropa. Sekolah Frankfurt dan juga Horkheimer memandang kapitalisme
monopolis sebagai suatu tahap kapitalisme di mana usaha-usaha raksasa menguasai
pasar, mengatur dan menentukan harga, sementara perusahaan-perusahaan kecil
dengan serta mereta digulungnya. Hal ini cenderung menghapuskan pasar dan dinamika
persaingan bebas. Inilah zaman keemasan Sekolah Frankfurt, namun pada tahun 1933 yang
beranggotakan kebanyakan orang-orang Yahudi bermigrasi ke Amerika
karena tekanan Nazisme.
Setelah berimigrasi ke Amerika, sekolah Frankfurt berafiliasi dengan Universitas
Columbia. dengan
berimigrasinya ke Amerika semakin membuat keprihatinan besar Horkheimer
terhadap masyarakat kapitalisme,hal
ini menyebabkan para ahli dari Frankfurt sangat pesimis pada tahun 1940, karena individu
semakin terbelenggu oleh sistem. Pemikirannya menjadi pesimis dengan ketidak mungkinan pembebasan
dijalankan dalam masyarakat modern, Horkheimer
berubah menjadi sangat spekulatif dan refleksif yang akhirnya memilih
agar filsafat diam karena ketidakmampuannya mendorong perubahan.
Pada tahun 1950 Horkheimer kembali ke Jerman dan menjadi inspirasi
bagi gerakan mahasiswa radikal dalam SDS (sizialisticher Deustscher
Studentenbund), namun Horkheimer tidak setuju dengan gerakan itu karena
memakai sistem kekerasan dalam melakukan aksi demonstrasi.
Tetapi Horkheimer justru ditolak oleh para mahasiswa,
bahkan dimusuhi hingga mengalami trauma. Pada akhirnya dia menjadi seorang yang
religius,
sebab menurutnya kebenaran tidak mungkin ada tanpa adanya Allah. Hal ini memengaruhi warna dari Sekolah Frankfurt juga, yang
tadinya optimis menjadi pesimis
terhadap perubahan masyarakat.
Pemikiran Horkheimer membedakan teori ke dalam dua
kategori, yakni tradisional dan kritis. Teori tradisional menganggap adanya pemisahan antara teoretisi dan obyek kajiannya. Artinya,
teori tradisional berangkat dari asumsi mengenai keberadaan realitas yang berada
di luar pengamat, sedangkan teori kritis menolak asumsi pemisahan antara
subyek-obyek dan berargumen bahwa teori selalu memiliki dan melayani tujuan
atau fungsi tertentu.
Teori kritis dalam hubungan internasional tidak terbatas pada suatu pengujian negara dan sistem negara tetapi
memfokuskan lebih luas pada kekuatan dan dominasi di dunia secara umum.[9]
Teori kritis mencari pengetahuan untuk tujuan politi yaitu untuk membebaskan
kemanusiaan dari struktur politik ekonomi dan dunia yang menekan dan
dikendalikan oleh Amerika
Serikat. Mereka berupaya untuk
mendobrak dominasi global negara-negara kaya di belahan bumi Utara atas negara-negara miskin di belahan dunia Selatan.[10]
Teori kritis pada dasarnya dipengaruhi oleh dua pemikiran, yaitu:
1.
Teori kritis Frankfurt
School, yang sumber-sumber
pemikirannya bisa diketahui dari pemikiran-pemikiran Habermas, Adorno, dan Max
Horkheimer, serta didukung oleh
pemikir-pemikir lain seperti Herbert
Marcuse, Walter
Benjamin, Eric Fromm, Albrecht Wellmer, Karl-Otto Apel, dan Axel Honneth, yaitu sekelompok orang yang kemudian
dikenal sebagai anggota Mazhab Frankfurt dan merupakan teoritisi yang
mengembangkan analisis tentang perubahan dalam masyarakat kapitalis Barat, yang
merupakan kelanjutan dari teori klasik Marx. Mereka yang bekerja institut
penelitian ini pada akhir tahun 20-an dan awal tahun 30-an. Setelah berpindah
ke Amerika Serikat karena tekanan Nazi, para anggota Mazhab Frankfurt
menyaksikan secara langsung budaya media yang mencakup film, musik, radio,
televisi, dan budaya massa lainnya. Di Amerika saat itu, produksi media hiburan
dikontrol oleh korporasi-korporasi besar tanpa ada campur tangan negara. Hal
ini menyebabkan adanya budaya massa komersial yang merupakan ciri masyarakat kapitalis kemudian, menjadi fokus studi budaya kritis.
Horkheimer dan Adorno mengembangkan diskusi tentang apa yang disebut ”industri
kebudayaan” yang merupakan sebutan untuk industrialisasi dan komersialisasi
budaya dibawah hubungan produksi kapitalis.
a.
Adorno
Adorno bernama
lengkap Theodor Wiesengrund Adorno ini dilahirkan di Frankfurt pada tahun 1903.
Dia adalah seorang filosof, komposer, penulis essay, dan teoritisi sosial.
Adorno tidak
sependapat dengan filsafat sistematis dan meragukan apakah pemikiran yang
sebenarnya dapat transparan. Hal ini berasal dari keberatannya terhadap
berpikir metodologis. Filsafat sistematis dan pemikiran metodologis memiliki
kecenderungan untuk sampai pada kesimpulan yang hanya mengkonfirmasi asumsi
yang terkandung dalam premis-premisnya. Adorno adalah pemikir anti-Hegel dan,
sekaligus, sepenuhnya Hegelian. Dia tidak setuju terhadap posisi filosofis
Hegel yang bercorak totalitarianisme. Adorno meyakini bahwa pemikiran
konseptual muncul dari kebutuhan terhadap adaptasi dan selalu membawa
benih-benih dominasi di dalamnya.
Dalam karya
Adorno dengan Horkheimer berjudul Dialectic of Enlightenment, Adorno
berusaha memberikan analisis konseptual tentang bagaimana memberi suatu
Pencerahan, yang pada mulanya ditujukan untuk mengamankan kebebasan dari
ketakutan dan otoritas manusia, berubah menjadi beberapa bentuk dominasi
politik, sosial, dan budaya dimana manusia dapat kehilangan individualitas dan
masyarakat dapat kehilangan makna kemanusiaan.[11]
Dalam buku
tersebut, Adorno dan Horkheimer juga menyatakan bahwa usaha untuk mencapai
nalar pencerahan dan kebebasan ternyata berdampak pada munculnya bentuk baru
irasionalitas dan represi. Pasca perang dunia, Adorno mengembangkan cara
berpikir yang disebut dialektika negatif yang menolak segala bentuk pemikiran
afirmatif tentang etika dan politik. Sementara Horkheimer semakin tertarik pada
teologi.
b.
Jurgen Habermes
Jurgen Habermas
dilahirkan pada 18 Juni 1929 di Dusseldorf. Belajar di universitas Gottingen
dan Zurich, Habermas meraih gelar doktor di bidang filsafat dari universitas
Bonn pada tahun 1954 dengan disertasi berjudul Das Absolute und die
Geschichte Von der Zwiespältigkeit in Schellings Denken (Yang absolut dan
sejarah: tentang kontradiksi dalam pemikiran Schelling). Pada tahun
1956, Habermas belajar filsafat dan sosiologi dibawah bimbingan teoritisi
kritis Max Horkheimer dan Theodor Adorno di Institut Penelitian Sosial
Frankfurt.
Pemikiran
Habermas berbicara tentang pengembangan konsep nalar yang lebih komprehensif, yakni
nalar yang tidak terkurangi dengan instrumen teknis dari subjek individu, dalam
pengertian filosofi, yang memungkinkan terbentuknya masyarakat emansipatif dan
rasional. Usaha ini melahirkan tesis tentang keterkaitan antara pengetahuan dan
kepentingan manusia. Tentang hal ini, Habermas mempunyai anggapan dasar
mengenai keberadaan tiga kepentingan manusia yang berakar. Tiga kepentingan ini
adalah: teknis (technical), praktis (practical), dan
emansipatoris (emancipatory).[12]
Secara
berurutan pengertian tiga kepentingan ini adalah kepentingan yang membentuk
pengetahuan dalam kontrol teknis terhadap alam; dalam memahami orang lain; dan
dalam membebaskan diri dari struktur-struktur dominasi.
a. Karya-karyanya
Gramsci
selama hidupnya dikenal sebagai penulis sekaligus teori kritis. Termasuk pemikirannya
mengenai teori
Marxis, teori
kritis dan teori lain mengenai pendidikan.
Berdasarkan masa hidupnya karya Gramsci terbagi
menjadi dua, yaitu masa sebelum penjara pada tahun 1910-1926 dan masa selama
penjara pada tahun 1929-1935.
Dibawah
ini beberapa judul artikel atau buku pada masa sebelum penjara (beberapa judul
yang telah diterjemahkan):[13]
1)
1916 Men or machine? (Avanti!, 22 Desember), Notes on The Rusiian
Revolution (Grido del Popolo, 29 April), The Revolutin Against ‘Capital’
(Avanti!, 24 Desember).
2)
1920 Split or Disorder? (L’Ordine Nuovo, December 11-18).
3)
1921 Caporetto and Vittorio Veneto (L'Ordine Nuovo, 28 January),
War is war (L'Ordine Nuovo, 31 January), The general confederation of labour
(L'Ordine Nuovo, 25 February), Socialists and communists (L'Ordine Nuovo, 12
March).
4)
1924 Gramsci to Togliatti, Scoccimarro, Leonetti, etc. (21 March
1924), The Como Conference: Resolutions, The Italian Crisis, Neither Fascism
nor Liberalism: Sovietism!.
5)
1926 Once again on the organic capacities of the working class
(L'Unità , 1 October 1926), The peasants and the dictatorship of the proletariat
(L'Unità , 17 September 1926), We and the Republican Concentration (L'Unità , 13
October 1926).
Sebagian
besar karya-karya Gramsci dikumpulkan dan disusun kembali kemudian
dipublikasikan sampai sekarang, salah satunya buku yang berjudul An
Introduction to Gramsci’s Life and Thought oleh Frank Rosengarten. Atau website
resmi pengikut Marxist dan Gramsci sendiri.
b. Pemikiran
Gramsci
dipandang banyak pihak sebagai filosof Marxis paling berpengaruh pada abad
ke-20, khususnya dalam perkembangan Marxisme Barat. Ia
menulis lebih dari 30 buku catatan dan 3000 halaman sejarah dan analisis selama
di penjara. Tulisan-tulisan ini kemudian dikenal luas sebagai Buku Catatan
Penjara (Prison Notebooks) yang
berisi penelusuran Gramsci terhadap sejarah dan nasionalisme Italia, selain
pemikiran mengenai teori Marxis, teori
kritis dan teori pendidikan yang
berkaitan dengan dirinya, seperti:[14]
3)
Pemisahan antara masyarakat politis (polisi, tentara, sistem legal,
dsb) yang mendominasi secara langsung dan koersif, dan masyarakat
sipil (keluarga,
sistem pendidikan, serikat
perdagangan, dsb) di mana
kepemimpinan dikonstitusionalisasi melalui ideologi
Kedua pemikiran diatas mendorong
perkembangan teori kritis dalam studi hubungan internasional yang bukan hanya membawa orientasi intelektual yang berbeda, akan tetapi
cenderung eksklusif satu sama lain, dalam artian bahwa masing-masing tidak mengacu pada
sumber-sumber intelektual teori kritis yang lain.
BAB
III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
1.
Teori kontruktivisme
Konstruktivisme
merupakan satu diantara faham yang menyatakan bahwa positivisme dan
postpositivisme merupakan paham yang salah dalam mengungkapkan realitas dunia.
Karena itu, perangkat berfikir kedua paham tersebut harus ditinggalkan dan
diganti dengan paham yang bersifat konstruktif.
2.
Teori Kritis
Dalam
pengertian umum istilah ini merujuk pada elemen kritik dalam filsafat Jerman
yang dimulai dengan pembacaan kritis Hegel terhadap Kant. Secara lebih khusus,
teori kritis terkait dengan orientasi tertentu terhadap filsafat yang
”dilahirkan” di Frankfurt. Teori kritis bertujuan menghilangkan berbagai
bentuk dominasi dan mendorong kebebasan, keadilan dan persamaan.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, Robert
& Georg Sorensen. 2005. Pengantar Studi Hubungan Internasional.
Yogyakarta: Pustaka Pelajar
Markus “Filsafat Konstruktivisme”, diakses pada 18 April 2012 dari http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
Muslih, Muhammad. 2004. Filsafat Ilmu .Yogyakarta: Belukar
Perwita, Anak
Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan
Internasional. Bandung: Remaja Rosdakarya
Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012
dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
(Indonesia).
1982. Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia
Tjahjadi, Simon
Petrus L. 2007. Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan: Dari Descartes sampai
Whitehead. Yogyakarta: Kanisius.
Wikipedia bahasa Indonesia “Antonio Gramsci”, diakses pada 25 April
2012 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci
Ravert Jerome R. diterjemahkanoleh saut pasaribu. 2009.The
Philosophy of Science/Filsafat Ilmu. Yogya: pusaka pelajar
[1] Muhammad
Muslih, Filsafat Ilmu (Yogyakarta: Belukar, 2004), h. 34.
[2] Filsafat
Ilmu.Jerome R. Ravert diterjemahkanoleh saut pasaribu,judul aslinya The
Philosophy of Science.pusaka pelajar yogya, 2009. Hal. 128
[3] Markus
“Filsafat Konstruktivisme”, diakses pada 18 April 2012 dari
http://cor-amorem.blogspot.com/2010/01/filsafat-konstruktivisme.html
[4] Robbani, Teori
Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[5] Robbani, Teori
Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[6] (Indonesia) Dilema
Usaha Manusia Rasional, Jakarta: Gramedia, 1982
[7] Simon Petrus L. Tjahjadi. 2007. Tuhan Para Filsuf dan
Ilmuwan: Dari Descartes sampai Whitehead. Yogyakarta: Kanisius. Hal.
102-114.
[8] (Indonesia) Dilema Usaha Manusia Rasional, Jakarta:
Gramedia, 1982
[9] .Anak Agung Banyu Perwita dan Yanyan
Mochamad Yani. 2005. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: Remaja
Rosdakarya, hlm. 104.
[10] Robert Jackson & Georg Sorensen. 2005.
Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal.300
[11]
Robbani, Teori Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[12] Robbani, Teori
Kritis diakses pada tanggal 18 April 2012 dari http://robbani.wordpress.com/2009/03/10/teori-kritis-adorno-dan-habermas/
[13] Wikipedia bahasa Indonesia “Antonio Gramsci”, diakses pada 25 April 2012 dari http://id.wikipedia.org/wiki/Antonio_Gramsci
[14] Ibid 7
Tidak ada komentar:
Posting Komentar