Rabu, 20 Maret 2013

ilmu luhgoh




BAB II
PEMBAHASAN
2.1  Pengertian Fonologi
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa yang disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu.[1]
Fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahsa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Untuk lebih jelasnya, kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi (i) yang terdapat pada kata-kata (intan), (angin), dan (batik) adalah tidak sama. Sebaliknya perbedaan bunyi (p) dan (b) yang terdapat pada kata (paru) dan (baru) adalah contoh studi fonemik, sebab perbedaan bunyi (p) dan (b) itu menyebabkan berbedanya makna kata (paru) dan (baru) itu.
Sebelum kita membicarakan kedua cabang fonologi itu secara lebih luas, perlu kiranya diketahui lebih dahulu, bahwa ada juga pakar yang menggunakan istilah  fonologi untuk pengertian yang disini kita sebut fonemik. Jadi, mereka membagi bidang fonologi itu bukan menjadi fonetik dan fonemik seperti yang dijelaskan diatas, melainkan menjadi fonetik dan fonologi.  [2]

2.2  Fonetik
Seperti sudah disebutkan di muka, fonetik adalah bidang linguistik yang mempelajari bunyi bahasa tanpa memperhatikan apakah bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Kemudian, menurut proses terjadinya bunyi bahasa itu, dibedakan adanya tiga jenis fonetik, yaitu fonetik organis, fonetik akustik, dan fonetik auditoris.[3]
Fonetik organis atau fonetik fisiologis, mempelajari bagaimana mekanisme alat-alat bicara manusia bekerja dalam menghasilkan bunyi bahasa, serta bagaimana bunyi-bunyi itu diklasifikasikan.
Fonetik akustik mempelajari bunyi bahasa sebagai peristiwa fisis atau fenomena alam. Bunyi-bunyi itu diselidiki frekuensi getarannya, amplitudonya, intensitasnya, dan timbrennya.
Sedangkan fonetik auditoris mempelajari bagaimana mekanisme penerimaan bunyi bahasa itu oleh telinga kita.
Dari ketiga jenis fonetik di atas, yang paling berurusan dengan dunia linguistik adalah fonetik organis, sebab fonetik inilah yang berkenaan dengan masalah bagaimana bunyi-bunyi bahasa itu dihasilkan atau diucapkan manusia.[4]
A.    Alat Ucap
Dalam fonetik organis hal pertama yang harus dibicarakan adalah alat ucap manusia untuk menghasilkan bunyi bahasa. Sebetulnya, alat yang disunakan untuk menghasilkan bunyi bahasa ini mempunyai fungsi utama lain yang bersifat biologis. Misalnya, paru-paru untuk bernafas, lidah untuk mengecap, dan gigi untuk mengunyah. Nama alat-alat ucap, atau alat-alat yang terlibat dalam produksi bunyi bahasa adalah sebagai berikut:
-          Pangkal tenggorokan (larynx) – laringal
-          Rongga kerongkongan (pharynx) – faringal
-          Pangkal lidah (dorsum) – dorsal
-          Tengah lidah (medium) – medial
-          Daun lidah (laminum) – laminal
-          Ujung lidah (apex) – apikal
-          Langit-langit lunak (velum) – velar
-          Langit-langit keras (palatum) – palatal
-          Gusi (alveolum) – alveolar
-          Gigi (dentum) – dental
-          Bibir (labium) – labial[5]
B.     Tempat Keluar Huruf
Selanjutnya, sesuai dengan bunyi bahasa itu dihasilkan, maka harus kita gabungkan istilah dari dua nama alat ucap itu. Misalnya bunyi apikodental yaitu gabungan antara ujung lidah dengan gigi atas (mengeluarkan bunyi huruf ‘T’/’ت’), labiodental yaitu gabungan antara bibir bawah dengan gigi atas (mengeluarkan bunyi ‘F’/’ف’), dan juga laminopalatal yaitu gabungan antara daun lidah dengan langit-langit (mengeluarkan bunyi ‘L’/’ل’).
C.     Sifat-sifat Huruf
 Setelah mempelajari Makharijul huruf, belumlah cukup jika tidak dilanjutkan dengan mempelajari sifat-sifat huruf. Karena sangat mungkin, seseorang dapat mengucapkan huruf ب (ba’) pada lafad لهَبٍ، وَتَبَّ dengan tepat sebagaimana makhrajnya, namun bacaan tersebut belum bisa dikatakan benar dan sempurna, sehingga harus di ucapkan sesuai dengan salah satu sifatnya, yaitu qalqalah.
Oleh karena itu, tujuan utama mempelajari sifat-sifat huruf adalah agar setiap huruf yang kita ucapkan, sesuai dengan hurufnya baik tempat maupun sifatnya.
a.    Al Hams x Al Jahr
b. Asy Siddyah x Ar Rakhwah
c. Al Isti’la’ x Al Istifal
d. Al Ithbaq x Al Infitah
e. Al Idzlaq x Al Ishmat [6]
D.    Klasifikasi Bunyi
Pada umumnya bunyi bahasa pertama-tama dibedakan atas vokal dan konsonan. Bunyi  vokal dihasilkan dengan pita suara terbuka sedikit. Pita suara yang terbuka sedikit ini menjadi bergetar ketika dilalui arus udara yang dipompakan dari paru-paru. Selanjutnya arus udara itu keluar melalui rongga mulut tanpa mendapat hambatan apa-apa, kecuali bentuk rongga mulut yang berbentuk tertentu sesuai dengan jenis vokal yang dihasilkan. Bunyi konsonan terjadi, setelah arus udara melewati pita suara yang terbuka sedikit atau agak lebar, diteruskan ke rongga mulut atau rongga hidung dengan mendapat hambatan di tempat-tempat artikulasi tertentu. Jadi, beda terjadinya bunyi vokal dan konsonan adalah arus udara dalam pembentukan bunyi vokal, setelah melewati pita suara, tidak mendapat hambatan apa-apa; sedangkan dalam pembentukan bunyi konsonan arus udara itu masih mendapat hambatan atau gangguan.[7]
1.      Klasifikasi vokal
        Bunyi vokal biasanya diklasifikasikan dan diberi nama berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut. Posisi lidah bisa bersifat vertikal bisa bersifat horizontal. Secara vertikal dibedakan adanya vokal tinggi, misalnya bunyi (i) dan (u); vokal tengah, misalnya bunyi (e) dan (∂); dan vokal rendah, misalnya bunyi (a). Secara horizontal dibedakan adanya vokal depan, misalnya bunyi (i) dan (e); vokal pusat, misalnya bunyi (∂); vokal belakang, misalnya bunyi (u) dan (o). Kemudian menurut bentuk mulut dibedakan adanya vokal bundar dan vokal tak bundar.
              Berdasarkan posisi lidah dan bentuk mulut itulah kemudian kita memberi nama akan vokal-vokal itu, misalnya:
                                (i)             Adalah vokal depan tinggi tak bundar
(e)                        Adalah vokal depan tengah tak bundar
(∂)            Adalah vokal pusat tengah tak bundar
(o)            Adalah vokal belakang tengah bundar  
(a)            Adalah vokal pusat rendah tak bundar[8]
2. Klasifikasi konsonan
Bunyi-bunyi konsonan biasanya dibedakan berdasarkan tiga patokan atau kriteria, yaitu posisi pita suara, tempat artikulasi, dan cara artikulasi.
Berdasarkan posisi pita suara dibedakan adanya bunyi bersuara dan bunyi tak bersuara. Bunyi bersuara terjadi apabila pita suara hanya terbuka sedikit, sehingga terjadilah getaran pada pita suara itu. Yang termasuk bunyi bersuara, antara lain, bunyi (b), (d), (g), dan (c). Bunyi tidak bersuara terjadi apabila pita suara terbuka agak lebar, sehingga tidak ada getaran pada pita suara itu. Yang termasuk bunyi tidak bersuara, antara lain, bunyi (s), (k), (p), dan (t).
Tempat artikulasi tidak lain daripada alat ucap yang digunakan dalam pembentukan bunyi itu. Berdasarkan tempat artikulasinya kita mengenal, antara lain, konsonan:
a.       Bilabial
b.      Labiodental
c.       Laminoalveolar
d.      Dorsoveral
Berdasarkan cara artikulasinya, artinya bagaimanagangguan atau hambatan yang dilakuakan terhadap arus udara itu, dapatlah kita bedakan adanya konsonan:
a.       Hambat (letupan, plosif, stop)
b.      Geseran atau frikatif
c.       Paduan atau frikatif
d.      Sengauan atau nasal
e.       Getaran atau trill
f.       Sampingan atau lateral
g.      Hampiran atau aproksiman[9]
E.     Unsur Suprasegmental
Dalam arus ujaran itu ada bunyi yang dapat di segmentasikan, sehingga disebut bunyi segmental, Bagian dari bunyi tersebut disebut bunyi suprasegmental atau prosodi. William Marsden (1812)  memberikan definisi “prosodi” sebagai bagian tata bahasa yang memperbincangkan tekanan, kualitas atau ukuran suku kata, serta susunannya yang tepat dalam membentuk komposisi metrik, atau syair karena diperbedakan dengan prosa.[10]
a.       Tekanan atau stres
Tekanan menyangkut masalah keras lunaknya bunyi. Dalam bahasa Inggris tekanan ini bisa distingtif, tetapi dalam bahasa indonesia tidak. Umpamanya, kata blackboard diberikan tekanan pada unsur black  maka maknanya adalah ‘papan tulis’; kalau tekanan diberikan pada unsur board berarti ‘papanhitam’. Dalam bahasa indonesia kata orang tua maknanya tetap sama saja.[11]
b.      Nada atau Pitch
Nada berkenaan dengan tinggi rendahnya suatu bunyi. Bila suatu bunyi segmental diucapkan dengan frekuensi getaran yang tinggi, tentu akan disertai dengan nada yang tinggi. Sebaliknya, kalau diucapkan dengan frekuensi getaran yang rendah, tentu akan disertai dengan nada rendah.
Dalam bahasa-bahasa bernada atau bahasa tonal, biasanya dikenal adanya lima macam nada, yaitu:
1)      Nada naik atau meninggi, biasanya ditandai garis /..../
2)      Nada datar, biasanya ditandai garis /..../
3)      Nada turun atau merendah, biasanya ditandai garis /..../
4)      Nada turun naik, yakni nada merendah lalu meninggi, biasanya ditandai dengan garis /..../
5)      Nada naik turun, yakni nada yang meninggi lalu merendah, biasanya ditandai garis /..../
Nada yang menyertai bunyi segmental didalam kalimat disebut intonasi. Dalam hal ini biasanya dibedakan adanya empat macam nada, yaitu:
1)      Nada paling tinggi, diberi tanda dengan angka 4
2)      Nada tinggi, diberi tanda angka 3
3)      Nada sedang atau biasa, diberi tanda dengan angka 2
4)      Nada rendah, diberi tanda angka 1[12]
c.       Jeda atau Persendian
Jeda atau persendian berkenaan dengan hentian bunyi dalam arus ujar. Disebut jeda karena adanya hentian itu, dan disebut persendian karena ditempat perhentian itulah terjadinya persambungan antara segmen yang satu dengan segmen yang lain. Biasanya dibedakan adanya sendi dalam dan sendi luar.
Sendi dalam menunjukkan batas antara satu silabel dengan silabel yang lain. Sendi dalam ini yang menjadi batas silabel. Biasanya diberi tanda (+). Misalnya:
/am+bil/
/lam+pu/
/pe+lak+sa+na/
Sendi luar menunjukkan batas yang  lebih besar dari segmen silabel. Dalam hal ini, biasanya dibedakan:
1)      Jeda antarkata dalam frase diberi tanda berupa garis miring tunggal (/)
2)      Jeda antarfrase dalam klausa diberi tanda berupa garis miring ganda (//)
3)      Jeda antar kalimat dalam wacana diberi tanda berupa garis silang ganda (#)
Contoh: # buku // sejarah / baru #
              # buku / sejarah // baru #
2.3  Fonemik
Objek penelitian fonemik fonem, yakni bunyi bahasa yang dapat atau berfungsi membedakan makna kata. Dalam fonemik kita meneliti apakah perbedaan bunyi itu mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Jika bunyi itu membedakan makna, maka bunyi tersebut kita sebut fonem, dan jika tidak membedakan makna adalah bukan fonem.
A.    Identifikasi Fonem
Untuk mengetahui apakah sebuah bunyi atau bukan, kita harus mencari sebuah satuan bahasa, biasanya sebuah kata, yang mengandung bunyi tersebut, lalu membandingkannya dengan satuan bahasa lain yang mirip dengan satuan bahasa yang pertama. Kalau ternyata kedua satuan bahasa itu berbedamaknanya, maka berarti bunyi tersebut adalah sebuah fonem, karena dia bisa atau berfungsi membedakan makna kedua satuan bahasa itu. Misalnya, kata indonesia laba dan raba. Kedua kata itu mirip benar. Ternyata perbedaannya hanya pada bunyi yang pertama, yaitu bunyi (l) dan bunyi (r). Maka dengan demikian dapat disimpulkan bahwa bunyi (l) dan (r) ada dua fonem yang berbeda di dalam bahasa indonesia, yaitu fonem /l/ dan /r/.[13]
Dua buah kata yang mirip, seperti kata baku dan bahu disebut kata-kata yang berkontras minimal, atau dua buah kata yang merupakan pasangan minimal. Jadi, untuk membuktikan sebuah bunyi fonem atau bukan, haruslah dicari pasangan minimalnya. Tetapi kadand-kadang pasangan minimal ini tidak mempunyai jumlah bunyi yang persis sama. Misalnya, kata muda dan mudah, juga merupakan pasangan minimal, sebab tiadanya bunyi (h) pada kata pertama, dan adanya bunyi (h) pada kata kedua menyebabkan kedua kata itu berbeda maknanya. Jadi, dalam hal itu bunyi (h) adalah sebuah fonem.
B.     Alofon
Dalam kamus ilmiah populer, alofon diartikan dengan variasi fonem. [14]
Dalam bahasa indonesia fonem /i/ setidaknya mempunyai empat buah alofon, yaitu bunyi (i) seperti dalam kata cita, bunyi (I) seperti pada kata tarik, bunyi (i᷄) sperti pada kata ingkar, dan bunyi (i:) seperti pada kata kali. Contoh lain, fonem /o/ setidaknya mempunyai dua buah alofon, yaitu bunyi (ɔ) seperti pada kata tokoh, dan bunyi (o) seperti pada kata toko.
Alofon-alofon dari sebuah fonem mempunyai kemiripan fonetis. Artinya, banyak mempunyai kesamaan dalam pengucapannya. Atau kalau kita melihatnya dalam peta fonem, letaknya masih berdekatan atau saling berdekatan. [15]
C.     Klasifikasi Fonem
Kriteria dan prosedur klasifikasi fonem sebenarnya sama dengan cara klasifikasi bunyi, dan unsur suprasegmental.
Dalam bahasa-bahasa tonal (bahasa bernada) seperti bahasa Thai, bahasa Burma, dan bahasa mandarin, nada dapat membedakan makna. Misalnya:
-          Wei            ‘kutu kayu’
-          Wei            ‘bahaya’
-          Wei            ‘menjawab dengan seeta merta’
-          Wei            ‘takut’



















BAB III
PENUTUP
3.1  Kesimpulan
Bidang linguistik yang mempelajari, menganalisis, dan membicarakan runtunan bunyi-bunyi bahasa yang disebut fonologi, yang secara etimologi terbentuk dari kata fon yaitu bunyi, dan logi yaitu ilmu.
 Fonologi dibedakan menjadi fonetik dan fonemik. Secara umum fonetik dijelaskan sebagai cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahsa tanpa memperhatikan apakah bunyi-bunyi tersebut mempunyai fungsi sebagai pembeda makna atau tidak. Sedangkan fonemik adalah cabang studi fonologi yang mempelajari bunyi bahasa dengan memperhatikan fungsi bunyi tersebut sebagai pembeda makna. Untuk lebih jelasnya, kalau kita perhatikan baik-baik ternyata bunyi (i) yang terdapat pada kata-kata (intan), (angin), dan (batik) adalah tidak sama. Sebaliknya perbedaan bunyi (p) dan (b) yang terdapat pada kata (paru) dan (baru) adalah contoh studi fonemik, sebab perbedaan bunyi (p) dan (b) itu menyebabkan berbedanya makna kata (paru) dan (baru) itu.














DAFTAR PUSTAKA

Chaer, Abdul. 2003. Linguistik Umum. Jakarta: PT Rineka Cipta, cet ke-2.

J.W.M. Verhaar. 1982. Pengantar Linguistik. Gadjah Mada University Press, cet ke-6.

Halim, Amran. 1984. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia. Jakarta: Penerbit Djambatan.

Partanto, Pius A dan Barry, Dahlan. 2001. Kamus Ilmiah Populer. Surabaya: Arkola.

Alwi, Bashori. 1994.  Ilmu Tajwid. Semarang: Penerbit.


[1] Chaer, abdul, Linguistik Umum (Jakarta: PT. Rineka Cipta, 2003), 102
[2] Ibid, 102
[3] Ibid, 103
[4] Ibid, 103
[5] Ibid, 106
[6] Alwi, Bashori, ilmu tajwid, (Semarang: Penerbit, 1994)
[7] Ibid, 113
[8] Ibid, 114
[9] Ibid, 118
[10] Halim, Amran. Intonasi dalam Hubungannya dengan Sintaksis Bahasa Indonesia, (Jakarta: Penerbit Djambatan, 1984), 17
[11] Ibid, 120
[12] Ibid, 122
[13] Ibid, 125
[14] Partanto, pius, dan Barry, Dahlan.  Kamus Ilmiah Populer, (Surabaya: Arkola, 2001), 29
[15] Ibid, 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar